Tampilkan postingan dengan label kebijakan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kebijakan. Tampilkan semua postingan

Selasa, April 01, 2014

Kesehatan Di Era Khilafah: Pelayanan Berkualitas dan Gratis


Pandangan Islam tentang kesehatan jauh melampaui pandangan dari peradaban manapun. Islam telah menyandingkan kesehatan dengan keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Mintalah oleh kalian kepada Allah ampunan dan kesehatan. Sesungguhnya setelah nikmat keimanan, tak ada nikmat yang lebih baik yang diberikan kepada seseorang selain nikmat sehat.” (HR Hakim).

Rasulullah saw. juga bersabda yang artinya, “Orang Mukmin yang kuat itu lebih baik dan disukai Allah daripada Mukmin yang lemah.” (HR Muslim).

Dalam Islam, kesehatan juga dipandang sebagai kebutuhan pokok publik, Muslim maupun non-Muslim. Karena itu, Islam telah meletakkan dinding yang tebal antara kesehatan dan kapitalisasi serta eksploitasi kesehatan. Dalam Islam, negara (Khilafah) bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia laksana penggembala. Hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Tugas ini tidak boleh dilalaikan negara sedikitpun karena akan mengakibatkan kemadaratan, yang tentu diharamkan dalam Islam.


Rasulullah saw.: Peletak Fondasi Yang Kokoh

Pandangan Islam yang tinggi terhadap kesehatan itu sesungguhnya bagian integral dari totalitas sistem kehidupan Islam. Sistem ini didesain Allah SWT secara unik untuk diterapkan pada institusi politik yang Dia desain secara unik pula, yakni Khilafah.

Rasulullah saw. telah membangun fondasi yang kokoh bagi perterwujudan upaya preventif-promotif dan kuratif. Ini terjadi saat syariah Islam turun secara sempurna dan diterapkan secara sempurna pula. Upaya preventif seperti mewujudkan pola emosi yang sehat, pola makan yang sehat, pola aktivitas yang sehat, kebersihan, lingkungan yang sehat, perilaku seks yang sehat serta epidemi yang terkarantina dan tercegah dengan baik tak lain adalah buah manis yang niscaya dapat dinikmati saat syariah Islam diterapkan secara kaffah.

Keberhasilan Rasulullah saw. melakukan upaya preventif-promotif direfleksikan oleh sebuah peristiwa yang terukir indah dalam catatan sejarah, yaitu saat dokter yang dikirim Kaisar Romawi selama setahun berpraktik di Madinah kesulitan menemukan orang yang sakit.


Kesehatan Gratis untuk Semua

Upaya kuratif direalisasikan di atas prinsip-prinsip etik kedokteran yang tinggi. Ini menjadi faktor penting agar setiap pasien memperoleh pelayanan penuh, rasa aman, nyaman, dipelihara jiwa dan kehormatannya sebagai sebaik-baiknya makhluk ciptaan Allah SWT. Di antara prinsip etik kedokteran tersebut adalah larangan menggunakan metode pengobatan yang membahayakan akidah, martabat, jiwa dan fisik pasien; izin praktik hanya diberikan kepada dokter yang memiliki kompetensi keilmuan kedokteran dan berakhlak mulia; obat dan bahan obat hanyalah yang halal dan baik saja; larangan menggunakan lambang-lambang yang mengandung unsur kemusyrikan dan kekufuran.

Layanan kesehatan berkualitas dijamin ketersediaannya. Semunya digratiskan oleh negara bagi seluruh warga negara yang membutuhkannya, tanpa membedakan ras, warna kulit, status sosial dan agama, dengan pembiayaan bersumber dari Baitul Mal. Hal ini terlihat dari apa yang dilakukan Rasulullah saw. kepada delapan orang dari Urainah yang menderita gangguan limpa. Saat itu mereka datang ke Madinah untuk menyatakan keislamannya. Mereka dirawat di kawasan pengembalaan ternak kepunyaan Baitul Mal, di Dzil Jildr arah Quba’. Selama dirawat mereka diberi susu dari peternakan milik Baitul Mal. Demikian pula yang terlihat dari tindakan Khalifah Umar bin al-Khaththab. Beliau mengalokasikan anggaran dari Baitul Mal untuk mengatasi wabah penyakit Lepra di Syam.

Banyak institusi layanan kesehatan yang didirikan selama masa Kekhilafan Islam agar kebutuhan masyarakat terhadap layanan kesehatan gratis terpenuhi. Di antaranya adalah rumah sakit di Kairo yang didirikan pada tahun 1248 M oleh Khalifah al-Mansyur, dengan kapasitas 8000 tempat tidur, dilengkapi dengan masjid untuk pasien dan chapel untuk pasien Kristen. Rumah sakit dilengkapi dengan musik terapi untuk pasien yang menderita gangguan jiwa. Setiap hari melayani 4000 pasien. Layanan diberikan tanpa membedakan ras, warna kulit dan agama pasien; tampa batas waktu sampai pasien benar-benar sembuh. Selain memperoleh perawatan, obat dan makanan gratis tetapi berkualitas, para pasien juga diberi pakaian dan uang saku yang cukup selama perawatan. Hal ini berlangsung selama 7 abad. Sekarang rumah sakit ini digunakan untuk opthalmology dan diberi nama Rumah Sakit Qolawun.

Kualitas layanan kesehatan yang persis sama juga diberikan oleh Rumah Sakit an-Nur yang didirikan pada masa Khalifah Bani Umayyah, al-Walid, tahun 706 M, di Damaskus. Rumah sakit ini menjalankan fungsinya selama 8 abad dan masih ditemukan sisa kejayaannya saat ini. Lembaga pendidikan kedokterannya berkualitas terbaik.

Pada masa Nizhamul Muluk, di Kota Ray didirikan rumah sakit bersalin terbesar untuk seluruh Persia, selain didirikan sekolah tinggi ilmu kebidanan. Para bidan desa mendapat pembinaan 2 hari dalam sepekan oleh dokter-dokter ahli kandungan. Dokter ahli kandungan yang terkenal antara lain Az-Zahrawi, Abu Raihan Albairuni (374 H) dan Bahrum Tajul Amin (380 H). Kedua sarana ini dibangun atas perintah Khalifah Harun al-Rasyid kepada al-Masawaih, dokter yang menjabat menteri kesehatan.

Negara tidak luput melaksanakan tanggung jawabnya kepada orang-orang yang mempunyai kondisi sosial khusus, seperti yang tinggal di tempat-tempat yang belum mempunyai rumah sakit, para tahanan, orang cacat dan para musafir. Untuk itu negara mendirikan rumah sakit keliling tanpa mengurangi kualitas pelayanan. Ini seperti pada masa Sultan Mahmud (511-525 H). Rumah sakit keliling ini dilengkapi dengan alat-alat terapi kedokteran, dengan sejumlah dokter. Rumah sakit ini menelusuri pelosok-pelosok negara.


Gratis dan Berkualitas

Tingginya kualitas layanan kesehatan gratis yang disediakan negara terlihat dari standar layanan yang diterapkan rumah sakit pemerintah. Tenaga medis yang diterima bertugas di rumah sakit, misalnya, hanyalah yang lulus pendidikan kedokteran dan mampu bekerja penuh untuk dua fungsi rumah sakit: menyehatkan pasien berdasarkan tindakan kedokteran yang terbaharui (teruji); memberikan pendidikan kedokteran bagi calon dokter untuk menjadi para dokter yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan pengobatan pasien. Hal ini terlihat dari tes yang dilakukan Adhud ad-Dawla terhadap seratus orang dokter calon tenaga medis di Al-‘Adhudi Bimaristan (rumah sakit). Yang lulus akhirnya 24 dokter saja.

Lokasi rumah sakit harus yang terbaik untuk kesehatan, seperti di atas bukit, atau di pinggir sungai. Bimaristan al-‘Adhudi (rumah sakit umum), misalnya, didirikan Adhud ad-Dawla pada tahun 371H/981 M, di pinggir Sungai. Air sungai mengalir melalui halaman gedung rumah sakit yang dikelilingi tembok dan ruangan-ruangan yang luas dan kembali ke mengalir ke Tigris. Lokasi ini dipilih Khalifah Harun ar-Rasyid berdasarkan arahan ahli kedokteran ar-Razi.

Rumah Sakit Marakesh (Ibukota Maroko), didirikan pada masa al-Mansyur Ya’qub Ibn-Yusuf, tahun 1190 M, merupakan rumah sakit yang cantik sekali, dengan tata taman yang sangat indah, dilengkapi aneka pohon buah-buahan, aneka bunga-bungaan, tiga telaga buatan dengan air yang mengalir ke semua terowongan.

Bangunan rumah sakit pasien wanita terpisah dari bangunan rumah sakit pasien pria. Masing-masing bangunan mempunyai ruangan-ruangan yang luas untuk pasien. Dokter perempuan bekerja di bagian rumah sakit pasien perempuan. Dokter pria bekerja di bagian rumah sakit pasien pria.

Ada ruangan perawatan khusus untuk anak-anak dan bayi, ruangan untuk pemeriksaan kandungan dan melahirkan. Ruangan juga dibagi berdasarkan jenis penyakit, seperti penyakit dalam, trauma dan fraktur dan penyakit menular. Pada masing-masing bagian bertugas seorang atau lebih dokter dan masing-masing tim dokter ini diketuai seorang dokter kepala. Semua dokter di rumah sakit dikepalai seorang dokter yang disebut “Al-Saur”. Para dokter ini ditugaskan secara bergiliran, pagi dan malam hari, agar mempunyai waktu istirahat yang cukup.

Semua ruangan dilengkapi dengan peralatan kedokteran dan peralatan yang dibutuhkan dokter. Rumah sakit juga dilengkapi perpustakaan yang menyediakan buku-buku kedokteran, seperti farmakologi, anatomi, fisiologi, hukum kedokteran dan berbagai ilmu lain yang terkait dengan kedokteran. Contoh rumah perpustakaan terbesar adalah perpustakaan Rumah Sakit Ibnu Tulun di Kairo, yang mengkoleksi 100.000 buku. Rumah sakit itu dilengkapi pula dengan laboratorium dan apotik yang memberikan obat berdasarkan resep dokter. Terdapat pula dapur dan berbagai ruangan lain yang dibutuhkan untuk pelayanan yang optimal. Sejumlah karyawan rumah sakit bekerja sebagai pekerja kesehatan, asisten atau dresser, servents, cleaning cervice, pembantu pasien.

Masing-masing pasien memiliki kartu rekam medik, yang berisi catatan observasi dokter, tindakan yang dilakukan dokter. Jika dokter mengalami masalah, seperti untuk penegakkan diagnosis, dia harus berkonsultasi dengan kepala bagian atau dokter kepala. Para dokter mengadakan pertemuan sesering mungkin untuk mendiskusi kasus-kasus yang dihadapi. Tidak diragukan lagi, forum ini seperti mini konfrensi ilmiah kedokteran yang dilakukan saat ini.

Sebagai rumah sakit yang berfungsi pula sebagai tempat pendidikan kedokteran, di rumah sakit-rumah sakit terdapat sejumlah dokter spesialis dan profesor yang biasa di pagi hari memeriksa kasus, bersama dengan para mahasiswa kedokteran tingkat awal. Para dokter spesialis dan profesor ini mengajar para mahasiswa, melakukan pencatatan dan membuat resep, ketika telah terbiasa mengobservasi dan belajar. Kemudian profesor tersebut biasanya menuju aula besar, di sekelilinginya duduk para mahasiswa kedokteran, ia membacakan isi buku kedokteran dan menjelaskannya, serta menjawab pertanyaan para mahasiswa. Biasanya dilakukan tes di akhir perkualiahan. Mahasiswa diberi izin untuk bekerja pada bagian spesialis mereka. Hal ini, selain bagian dari proses pendidikan, juga pencegah para mahasiswa menjadikan pasien sebagai kelinci percobaan.

Kembali pada fungsi rumah sakit sebagai tempat layanan kesehatan, kontrol terhadap mutu pelayanan dilakukan secara ketat. Tim ahli yang diangkat Khalifah yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan layanan rumah sakit. Tim ini mengevaluasi, antara lain, isi catatan rekam medik pasien, pelayanan yang diperoleh pasien, makanan yang diberikan kepada pasien, apakah para dokter melaksanakan tugasnya secara sempurna. Dengan begitu rumah sakit selalu dalam kompetensi yang tinggi secara teknis, scientifically danadministratively.

Demikianlah sebagian permata indah yang tersimpan dalam catatan sejarah peradaban emas Khilafah di bidang kesehatan, yang tak tertandingi oleh peradapan manapun. Sungguh, dunia sangat merindukan kembali hadirnya keindahan permata itu di tengah-tengah kehidupan yang nyata. Allahu a’lam. []


Daftar Rujukan

Al-Maliki. Politik Ekonomi Islam. Al-Izzah. Bogor. 2008?

Deuraseh, N. The Book of Medicine (Kitab ath-Thibb) of Sahihal-Bukhari Prevention of Illness and Preservation of Health Perspectives. Part Two.Journal of the Bahrain Medical Society. Vol 20. No 2. April 2008.

Rini, Susrini, R., Waraharini, P. Sehat Seutuhnya Untuk Semua. ForMi-t. Jakarta. 2008.

Al-Ghazal, S. Medical Ethics in Islamic History at a Glance. JISHIM, 3. 2004.

Yamani, J. K. Kedokteran Islam dari Masa ke Masa. Dzikra. Bandung. 2002….

Al Badri, A. A. Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam. GIP. 1990

Al-Ghazali, Sharif Kaf. “The Origin of Bimaristans (hospitals) in Islamic Medical History,”http://www.islamicmedicine.or/bimaristan.htm.

Ragheb, E. “Hospital in Islamic Civilization,” http://en.islamstory.com/hospital-in-islamic-civilization.html.

Al-Faruqi, I dan Al-Faruqi, L. Atlas Budaya: Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang. Mizan. Bandung. 1998.

Ibn Abi Usaibi’ah, Uyun al-Anba, PP. 415 dalam Al-Ghazali, Sharif Kaf. “The Origin of bimaristans (hospitals) in Islamic medical history,”http://www.islamicmedicine.or/bimaristan.htm.



* copied from AL-WA'IE edisi JUNI 2011

Rabu, Januari 22, 2014

Pelegalan Miras, Pemerintah Undang Azab Allah


berbagai miras dijual di mini market

Setelah naiknya harga elpiji 12 kg, pemerintah kembali membuat aturan yang tidak pro-rakyat, yaitu pelegalisasian miras. Presiden menandatangani Perpres No. 74/2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Dengan peraturan itulah minuman beralkohol (mihol) boleh kembali beredar sebagai barang yang terkategori dalam pengawasan. Dalam Pasal 3 ayat 3: “Pengawasan sebagaimana dimaksud meliputi pengawasan terhadap pengadaan minuman beralkohol dari produksi dalam negeri atau asal impor serta peredaran dan penjualannya.” Ini berarti meskipun mihol diawasi peredaran dan penjualannya, tetapi masyarakat akan mudah menemukan mihol di mana saja. Pasalnya, tanpa Perpres ini pun, masyarakat masih bisa menemukan mihol dimana saja. 

Perpres itu menggolongkan mihol dalam tiga golongan, yaitu golongan A (kadar etanol sampai dengan 5%), golongan B (5-20%),  dan golongan C (20-55%).  Menurut Perpres ini, mihol hanya boleh diproduksi oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin usaha industri Menteri Perindustrian. Peredaran mihol juga hanya dapat diedarkan jika telah mengantongi izin dari Kepala BPOM Kemenkes. Sedangkan yang dapat memperdagangkan mihol ini adalah pelaku usaha yang sudah memiliki izin untuk memperdagangkan mihol dari Menteri Perdagangan. 

Untuk tempat penjualan mihol sendiri, untuk mihol golongan A, B, dan C hanya dapat dijual di hotel, bar, dan restoran yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan parawisata, toko bebas bea, dan tempat-tempat yang ditentukan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk DKI Jakarta. Selain itu,  mihol golongan A juga ternyata dapat dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan.  Jadi, secara umum, perpres ini telah melegalkan mihol (khamr). 

Adanya perda-perda syariah anti miras di sejumlah wilayah Indonesia tentunya akan bertubrukan dengan perpres ini, artinya perda syariah anti miras akan diatur ulang agar sesuai dengan perpres. Presiden sendiri mengklaim bahwa adanya perpres ini adalah untuk melindungi masyarakat, karena banyaknya korban akibat miras oplosan. Namun, yang justru terjadi dengan adanya perpres ini malah akan membuka pintu kerusakan. Masyarakat pun semakin resah, karena kerusakan sudah terlalu banyak terjadi dimana-mana akibat adanya miras, apalagi mihol yang sudah dilegalkan ini. 

Tentu Muslim sangat mengetahui bagaimana hukum khamr di mata Allah. Hukum mihol (khamr) adalah haram. Nabi Saw memperingatkan: “Khamr itu adalah induk keburukan dan siapa meminumnya, Allah tidak menerima sholatnya 40 hari. Jika ia mati dan khamr itu ada di dalam perutnya maka ia mati dengan kematian jahiliyah.” (HR ath-Thabrani, ad-Daraquthni, al-Qadha’iy) 

Islam dengan jelas telah mengharamkan  khamr. Selain itu, terkait khamr ada sepuluh pihak yang dilaknat. Dari Anas bin Malik bahwa Rasul saw bersabda: “Rasulullah saw melaknat dalam hal khamr sepuluh pihak: yang memerasnya, yang diperaskan, yang meminumnya, yang membawanya, yang dibawakan, yang menuangkan, yang menjualnya, yang memakan harganya, yang membeli dan yang dibelikan.” (HR at-Tirmidzi dan Ibn Majah)

Hadits ini mengindikasikan bahwa seluruh pihak yang terlibat dengan khamr akan mendapat laknat dari Allah swt. Termasuk pun dengan pemerintah yang telah melegalkan khamr ini, padahal penduduknya bermayoritaskan Muslim. Perpres ini sangat menentang hukum Allah, bahkan mengundang azab Allah karena kemaksiatan telah nyata tersebar. Masyarakat pun semakin risau, karena kemaksiyatan semakin merajalela.Oleh karenanya, dibutuhkan kebijakan atas penerapan hukum Islam dalam Khilafah Islamiyah, sehingga peraturan semacam ini dihilangkan, bahkan sanksi terhadap pelaku yang berhubungan dengan khamr dihukumi secara tegas. Wallahu’alam bisshawab

Dimuat di http://www.suara-islam.com/read/index/9684/Pelegalan-Miras--Pemerintah-Undang-Azab-Allah

Sabtu, Januari 18, 2014

Naiknya Harga Elpiji Menambah Penderitaan Rakyat

                 

Awal tahun 2014 ini, rakyat dikejutkan dengan naiknya harga tabung elpiji 12 kg. Sebab, kenaikan harga dari Rp 85ribu/ tabung menjadi hampir kurang lebih Rp 14 rb/tabung jelas sangat mencekik rakyat. Kenaikan harga yang diumumkan oleh Pertamina ini pun mengundang protes dari menteri-menteri terkait, dan juga Presiden. Presiden SBY pun turun tangan setelah kenaikan harga ini diumumkan, ia meminta kepada Pertamina untuk meninjau ulang kenaikan harga elpiji tersebut karena dinilai akan semakin mencekik rakyat. Hingga akhirnya, Pertamina pun merevisi kenaikan harga menjadi Rp 89ribu/kg sampai Rp 120rb/kg. Jika kita perhatikan, meskipun Pertamina telah merevisi harga kenaikan tabung elpiji, tetap saja ini menambah beban penderitaan rakyat. Seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah justru menghentikan kenaikan harga ini. Bahkan di sejumlah wilayah di Indonesia, harga gas elpiji tetap melambung tinggi dengan alasan para distributor telah membeli tabung elpiji 12kg dengan jumlah yang besar, sehingga akan merugikan jika dijual dengan harga revisi.

Jika kita lihat posisi Pertamina pada saat ini, seolah-olah mereka menjadi satu-satunya yang tertuduh bersalah atas kenaikan harga yang terjadi. Padahal, pemerintah pun tentunya punya andil besar, apalagi Pertamina telah dilepas oleh pemerintah sehingga menjadi sebuah korporat, mereka pun bersaing ketat dengan perusahaan migas-migas lainnya untuk mendapatkan keuntungan. Seharusnya pemerintah bisa menggagalkan kenaikan harga elpiji tersebut jauh-jauh hari. Anehnya,  pemerintah malah baru bertindak ketika harga telah naik, dan mereka bertingkah seolah pahlawan kesiangan bagi rakyat. Akan tetapi percuma saja, meskipun Pertamina telah merevisi harga, rakyat akan tetap menjerit karena kenaikan harga tidak hanya terjadi di satu aspek saja. Kenaikan harga terjadi hampir di semua aspek, apalagi ditambah dengan melemahnya nilai rupiah terhadap dollar semakin membuat harga-harga barang tidak terkendali.

Apa yang salah? Tentunya kebijakan yang dibuat oleh penguasa negeri ini telah menyeret rakyat pada penderitaan yang tiada akhir. Kebijakan penguasa yang lebih pro asing/swasta membuat Indonesia, sebagai negeri yang kaya akan sumber daya alam, semakin terjajah. Selain itu, kejahatan sebenarnya adalah di tangan pemerintah dan ekonom negeri ini yang membiarkan sistem ekonomi liberal berkuasa. Termasuk membiarkan hajat hidup orang banyak – seperti migas – dikuasai asing, dan tidak diberikan manfaat sebesar-besarnya kepada rakyat. Pemerintah dalam sistem ekonomi liberal memang tidak memposisikan diri sebagai pelayan dan pengurus rakyat. Karena berlaku prinsip survival of the fittest. Hanya yang kuat yang bertahan. Jadi tak ada hubungan ri’ayah (pelayanan) dari negara kepada publik. Tragisnya lagi, pemerintah lebih mempertahankan kebijakan mengekspor gas alam dalam jumlah besar ke luar negeri, membiarkan negeri ini defisit gas. Dan yang paling tidak waras, harga jual gas ke negara lain jauh lebih murah ketimbang harga jual ke rakyat sendiri. Produksi gas alam dari blok Tangguh ke Cina diobral habis-habisan. Harga gas ke Fujian China hanya US$ 3,45 per MMBTU, sementara harga gas ekspor Indonesia ke luar negeri di atas US$ 18 per MMBTU sedangkan harga gas domestik US$ 10 per MMBTU. Artinya harga gas untuk warga Cina di RRC hanya seperempat harga gas untuk rakyat sendiri. Beruntunglah rakyat RRC karena mereka hidup makmur disubsidi oleh pemerintah Indonesia.

Itulah yang terjadi di negeri-negeri yang menganut kapitalisme. Padahal sesungguhnya, jika kita merunut pada sistem syariat Islam, maka migas itu adalah milik rakyat yang wajib dikelola oleh pemerintah dan tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi asing. Pemerintah wajib untuk melayani kebutuhan masyarakatnya, sehingga jika digunakan sistem syariah maka harga elpiji semacam ini akan mudah dan murah didapatkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, sudah saatnya kita terapkan Islam di bumi Allah ini, karena hanya dengan Islam yang diterapkan secara menyeluruh itulah seluruh umat akan merasakan kesejahteraan yang nyata, yaitu dalam naungan Khilafah Islamiyah.

Wallahu’alam bisshawab