Senin, April 14, 2014

The Way

This pict is actually cited from my song, 'the way' and edited using #instext from android apps, well it's cool! ;)

Rabu, April 02, 2014

Demokrasi Hanya Lahirkan Kerusakan

                Sebentar lagi, hanya menghitung hari, masyarakat Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi yaitu pemilu raya untuk memilih anggota legislatif serta pemimpin bangsa ini. Berbagai poster, baligho, pamflet, bendera-bendera partai dan asesoris partai lainnya menghiasi setiap penjuru daerah. Program-program partai untuk membela rakyat dikoar-koarkan melalui media-media. Pemilu dijadikan sebagai ajang eksistensi bagi mereka yang mencalonkan dirinya sebagai calon legislatif atau para calon wakil rakyat yang katanya akan menyalurkan aspirasi rakyat. Namun pertanyaannya sekarang adalah akankah para pemimpin rakyat ini merealisasikan janji-janji yang mereka ucapkan sewaktu kampanye? Karena faktanya pada saat ini kita menemukan bahwa janji-janji itu seperti bisikan-bisikan mimpi yang penuh dengan kepalsuan tanpa pernah terwujud.  Rakyat sudah menyadari bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Kerusakan terjadi dalam semua ranah kehidupan. Masyarakat harus menyadari bahwa kerusakan yang melanda negeri ini dan sebagian besar negara lain di dunia adalah karena penerapan sistem demokrasi buatan manusia.

Kelahiran Demokrasi Kuno
                Sejarah membuktikan, demokrasi lahir di negara Yunani pada abad V SM silam. Istilah demokrasi mengandung dua kata yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan, sehingga demokrasi dapat diartikan sebagai kekuasaan atau pemerintahan rakyat.  Dalam perjalanannya sendiri di negeri kelahirannya, demokrasi tak dapat bertahan lama.  Meskipun Yunani kuno menggunakan sistem demokrasi dalam pemerintahannya, tetapi dalam praktiknya sistem ini memberikan kekuasaan pada pria elit saja untuk mengatur kekuasaan yang disebut dengan Majelis. Selain itu seperti yang dikatakan oleh Robert Dahl, seorang ahli tata negara, menyatakan bahwa demokrasi kuno yang dulu dipakai berbeda sekali dengan konsep demokrasi yang kita pahami saat ini. Dalam konteks Yunani kuno saat itu, kata ‘rakyat’ merujuk kepada sekumpulan orang yang tinggal dalam sebuah kota kecil. Sehingga pada saat ini, kita menemukan pengertian yang berbeda dengan konteks ‘rakyat’ itu sendiri dalam dunia kontemporer. Selain itu, dalam pandangan Yunani kuno, demokrasi harus memenuhi enam syarat, yaitu: 1) Warga negara harus cukup serasi dengan kepentingan mereka (para elit kekuasaan); 2) Mereka harus padu dan homogen; 3) Jumlah warga negara harus kecil (bahkan kurang dari 40.000); 4) Warga negara harus dapat berkumpul dan secara langsung memutuskan legislasi; 5) Warga negara harus berpartisipasi aktif dalam pemerintah; 6) Negara kota harus sepenuhnya otonom. Jelas syarat itu semua tak dapat dipenuhi oleh demokrasi modern saat ini.

Reinkarnasi Demokrasi
                Sistem demokrasi Yunani kuno pada akhirnya tak dapat bertahan lama, hal ini karena memang sistem itu sudah cacat sejak lahir. Sistem ini juga dikalahkan oleh pemerintahan Kekaisaran Romawi yang menguasai hampir seluruh daratan Eropa. Kekaisaran Romawi sendiri menganut pemerintahan monarki absolut dengan sistem teokrasi. Di dalamnya, raja berkolaborasi dengan gerejawan untuk memimpin negara. Raja dianggap sebagai wakil tuhan untuk mengatur kehidupan dunia, ia bekerja sama dengan gerejawan untuk mengendalikan rakyat dengan doktrin-doktrin yang bersifat otoriter seolah-olah dinisbatkan kepada tuhan. Kolaborasi raja dan gerejawan ini melahirkan penindasan berkepanjangan kepada rakyat Eropa, sehingga kita mengenal zaman ini sebagai ‘The Dark Ages’ atau Masa Kegelapan Eropa. Kemiskinan melanda rakyat Eropa karena pajak yang sangat tinggi, banyak ilmuwan dihukum mati karena dianggap bertentangan dengan doktrin agama, masyarakat diselimuti oleh kebodohan karena hanya orang-orang gereja saja yang dapat mengakses ilmu pengetahuan, berbagai macam penyakit menjangkiti masyarakat, dsb. Kemudian, terjadilah pemberontakan yang dipimpin oleh para filsuf dan ilmuwan, dimana mereka menuntut untuk memisahkan agama dari kekuasaan. Gereja tidak diperbolehkan untuk mencampuri urusan perpolitikan negara.  Dari sinilah lahir paham sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan seluruhnya. Agama dianggap sesuatu yang suci sehingga tidak boleh dicampurkan dengan aspek kehidupan lainnya. Istilah demokrasi kembali dipakai di Eropa setelah berabad-abad dicampakkan. Majelis rakyat kembali dipilih oleh rakyat untuk membuat hukum perundang-undangan dan pengaturan atas nama rakyat. Demokrasi pada akhirnya menjadi alternatif solusi yang dipakai hingga saat ini untuk menjadi sistem pemerintahan yang dipakai hampir sebagian besar oleh negara-negara di dunia.

Kritik terhadap Demokrasi
            Sebenarnya, demokrasi sudah mendapatkan kritik keras dari Aristoteles dengan menyebut sistem itu sebagai mobocracy atau the rule of mob, artinya adalah kekuasaan yang mengepung. Demokrasi digambarkan sebagai sistem yang bobrok, yang dikuasai oleh massa. Oleh karena itu, demokrasi rentan akan tindakan anarkis. Menurut Aristoteles, bila negara dipegang oleh banyak orang (melalui perwakilan legislatif) akan berbuah petaka. Dalam bukunya ‘Politics’, Aristoteles menyebut Demokrasi sebagai bentuk negara yang buruk (bad state). Menurutnya juga, negara Demokrasi memiliki sistem pemerintahan oleh orang banyak, dimana satu sama lain memiliki perbedaan (atau pertentangan) kepentingan, perbedaan latar belakang sosial ekonomi, dan perbedaan tingkat pendidikan. Pemerintahan yang dilakukan oleh sekelompok minoritas di dewan perwakilan yang mewakili kelompok mayoritas penduduk itu akan mudah berubah menjadi pemerintahan anarkis, menjadi ajang pertempuran konflik kepentingan berbagai kelompok sosial dan pertarungan elit kekuasaan. Apa yang dilontarkan oleh Aristoteles ini persis seperti yang sering kita saksikan di berita-berita, partai-partai politik saling beradu untuk mendapatkan kekuasaan tinggi demi mewujudkan kepentingannya di atas rakyat.

Demokrasi Hanya Lahirkan Kerusakan
          Kritikan Aristoteles sebenarnya harus menjadi tamparan keras bagi para politisi negeri ini. Demokrasi telah cacat sejak lahir dan tak pantas untuk diambil. Selain itu, reinkarnasi demokrasi yang terjadi di Eropa dahulu sebenarnya tak cocok untuk dipraktikkan. Indonesia dengan penduduknya yang mayoritas beragama Islam tidak pernah mengalami penindasan atas nama agama seperti yang terjadi pada masyarakat Eropa di abad pertengahan itu. Demokrasi bukanlah solusi tepat untuk mengatasi permasalahan yang terjadi saat ini. Justru demokrasi ialah akar dari permasalahan ini semua. Demokrasi gagal mempraktikkan doktrin mendasarnya yaitu kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat. Buktinya, orang-orang legislatif yang dianggap mewakili rakyat ini tidak pernah melahirkan kebijakan pro-rakyat. Rakyat memang memilih secara langsung para wakilnya, tetapi para wakil ini disediakan oleh parpol yang sarat dengan kepentingan, sehingga hak untuk bebas memilih sebenarnya hanya tipuan saja. Rakyat terbatas memilih para wakil rakyat yang sudah disediakan oleh parpol. Selain itu, dalam praktik demokrasi dimana pun, kekuasaan tetap saja berada di tangan elit politik maupun pemilik modal. Demokrasi gagal menjalankan doktrinnya sendiri.
              Selain itu, demokrasi juga berdiri di atas empat pilarnya, yaitu kebebasan beragama, berpendapat, berperilaku, dan berkepemilikan. Sesungguhnya, empat pilar ini juga merubuhkan institusi pemuja demokrasi. Lihatlah akibat pilar kebebasan beragama, aliran Ahmadiyah muncul dan tetap eksis, begitu pula dengan aliran-aliran dan akidah yang menyimpang lainnya tetap dibiarkan bahkan dipelihara oleh pemerintah. Kebebasan berpendapat membuat orang-orang yang anti-Islam menciptakan film penghinaan terhadap Rasulullah 'Innocence of Muslim' dan karikatur-karikatur untuk menjelek-jelekkan Rasul dan umatnya. Namun, kemarahan umat atas kejadian ini sama sekali tidak digubris oleh pemerintah kita yang juga notabene adalah Muslim. Remaja dan pemuda, yang menjadi tonggak peradaban suatu bangsa telah rusak dan hancur akibat menjadi pemuja kebebasan berperilaku. Hidup hura-hura disertai pergaulan bebas telah menjadikan mereka jauh dari identitas pemuda yang sebenarnya. Jika pemuda bangsa hancur, maka hancur pula bangsanya. Terakhir, adanya asas kebebasan berkepemilikan membuat bangsa ini terjajah. Sumber daya alam yang kaya dan melimpah ruah terus dikeruk oleh perusahaan-perusahaan asing, dan pemerintah tetap bungkam dalam kepura-puraannya. Sedangkan masyarakat dibiarkannya terjajah secara materi dan mental, kehidupannya tak lagi berharga ketika demokrasi merampas hak hidupnya. Agama telah dijauhkan di sisi terkucil dalam jiwa manusia, membuat mereka lupa seolah-olah mereka tak diawasi setiap gerak-geriknya oleh Yang Mahamelihat. Kemaksiatan terus terjadi dan tersebar dimana-mana. Itulah demokrasi sang pembuat kerusakan.

Masihkah Berharap pada Demokrasi?
                Masyarakat seharusnya menyadari, meskipun kepemimpinan di negeri ini sebentar lagi akan berganti, akan tetapi perubahan sejati tidak akan pernah terwujud selama masih diterapkannya sistem demokrasi. Mengapa? Karena rule of the system tidak berganti, orang-orang yang akan mengisi tampuk kepemimpinan pun pada akhirnya akan tetap menjalankan aturan yang ada, meskipun mereka mengaku memiliki program-program untuk melakukan perubahan. Faktanya, keadaan yang sama tidak akan pernah berubah. Rakyat tetap miskin, melarat, dan sengsara. Sedangkan elit politik serta para pemilik modal semakin adem ayem, karena undang-undang yang lahir menguntungkan mereka. Itulah sistem demokrasi buatan manusia. Ketika manusia memiliki wewenang untuk membuat hukum, maka aturan yang lahir disesuaikan dengan kepentingan dan hawa nafsunya saja. Aturan itu pun tidak memiliki acuan yang baku. Meskipun aturan di negara ini memiliki acuan baku yaitu berupa konstitusi UUD 1945, tetapi pada faktanya masih terdapat amandemen yang semakin liberal. Hal ini menunjukkan bahwa aturan itu tidak baku dan bersifat longgar. Itulah aturan buatan manusia. Jadi masihkah berharap pada demokrasi?

Islam Satu-satunya Jalan Perubahan  

"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin? 
(Q.S Al-Maaidah : 50)

                Hukum siapakah yang lebih baik untuk diterapkan di bumi ini? Apakah hukum buatan manusia (hukum jahiliyah) ataukah hukum Allah? Siapakah yang lebih mengetahui perkara akan makhluk-Nya, apakah manusia (yang diciptakan) atau Allah, Sang Pencipta alam semesta beserta isinya? Jelas jawabannya adalah hukum Allah swt. bagi orang-orang yang cerdas dan beriman. Jadi mengapa harus menerapkan Islam? Karena Islam datang dari Sang Pencipta, yaitu Allah swt. sebagai rahmatan lil ‘alamin.
              Banyak sekali ayat-ayat dalam Al-Quran, begitu pula dalam As-Sunah Rasulullah saw. untuk menggunakan Islam sebagai aturan kehidupan manusia di dunia.

"Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". Berkatalah ia:"Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat" Allah berfirman:"Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu(pula) pada hari inipun kamu dilupakan".
(Q.S Ath-Thaaha : 124-126)

                Hari ini kita mengalami kehidupan yang sempit itu berupa susahnya mengais rezeki, harga-harga kebutuhan yang semakin hari semakin naik, sulitnya beribadah, kejahatan tersebar dimana-mana, serta saudara Muslim kita di luar sana yang meregang nyawa tiap waktunya. Tidakkah kita merasa hidup kita itu sempit? Dari ayat tersebut mengindikasikan bahwa kita saat ini sedang berpaling dari peringatan Allah. Padahal ayat-ayat Quran tiap hari kita membacanya, tapi mengapa isinya tidak kita jalankan dalam kehidupan ini? Ini merupakan peringatan bagi kita bahwa sudah saatnya kita kembali pada hukum-hukum Allah, karena hukum Allah adalah hukum yang terbaik bagi manusia, dan karena Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, yaitu rahmat untuk alam semesta ini. Jadi, mengapa kita harus bersusah payah hidup dalam aturan manusia ketika Allah, Pencipta kita sendiri, sudah menyediakan aturan yang terbaik? Marilah kita bersama-sama memperjuangkan tegaknya kembali syariat Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah, sebuah institusi negara yang telah Rasulullah contohkan dan kemudian dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin dan khalifah-khalifah setelahnya. Jadi, tinggalkan demokrasi! Tegakkan Syariat dan Khilafah Islamiyah! Allahu Akbar!

Wallahu ‘alam bisshawab

*dari berbagai sumber

Selasa, April 01, 2014

Don't be Afraid




Kesehatan Di Era Khilafah: Pelayanan Berkualitas dan Gratis


Pandangan Islam tentang kesehatan jauh melampaui pandangan dari peradaban manapun. Islam telah menyandingkan kesehatan dengan keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Mintalah oleh kalian kepada Allah ampunan dan kesehatan. Sesungguhnya setelah nikmat keimanan, tak ada nikmat yang lebih baik yang diberikan kepada seseorang selain nikmat sehat.” (HR Hakim).

Rasulullah saw. juga bersabda yang artinya, “Orang Mukmin yang kuat itu lebih baik dan disukai Allah daripada Mukmin yang lemah.” (HR Muslim).

Dalam Islam, kesehatan juga dipandang sebagai kebutuhan pokok publik, Muslim maupun non-Muslim. Karena itu, Islam telah meletakkan dinding yang tebal antara kesehatan dan kapitalisasi serta eksploitasi kesehatan. Dalam Islam, negara (Khilafah) bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia laksana penggembala. Hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Tugas ini tidak boleh dilalaikan negara sedikitpun karena akan mengakibatkan kemadaratan, yang tentu diharamkan dalam Islam.


Rasulullah saw.: Peletak Fondasi Yang Kokoh

Pandangan Islam yang tinggi terhadap kesehatan itu sesungguhnya bagian integral dari totalitas sistem kehidupan Islam. Sistem ini didesain Allah SWT secara unik untuk diterapkan pada institusi politik yang Dia desain secara unik pula, yakni Khilafah.

Rasulullah saw. telah membangun fondasi yang kokoh bagi perterwujudan upaya preventif-promotif dan kuratif. Ini terjadi saat syariah Islam turun secara sempurna dan diterapkan secara sempurna pula. Upaya preventif seperti mewujudkan pola emosi yang sehat, pola makan yang sehat, pola aktivitas yang sehat, kebersihan, lingkungan yang sehat, perilaku seks yang sehat serta epidemi yang terkarantina dan tercegah dengan baik tak lain adalah buah manis yang niscaya dapat dinikmati saat syariah Islam diterapkan secara kaffah.

Keberhasilan Rasulullah saw. melakukan upaya preventif-promotif direfleksikan oleh sebuah peristiwa yang terukir indah dalam catatan sejarah, yaitu saat dokter yang dikirim Kaisar Romawi selama setahun berpraktik di Madinah kesulitan menemukan orang yang sakit.


Kesehatan Gratis untuk Semua

Upaya kuratif direalisasikan di atas prinsip-prinsip etik kedokteran yang tinggi. Ini menjadi faktor penting agar setiap pasien memperoleh pelayanan penuh, rasa aman, nyaman, dipelihara jiwa dan kehormatannya sebagai sebaik-baiknya makhluk ciptaan Allah SWT. Di antara prinsip etik kedokteran tersebut adalah larangan menggunakan metode pengobatan yang membahayakan akidah, martabat, jiwa dan fisik pasien; izin praktik hanya diberikan kepada dokter yang memiliki kompetensi keilmuan kedokteran dan berakhlak mulia; obat dan bahan obat hanyalah yang halal dan baik saja; larangan menggunakan lambang-lambang yang mengandung unsur kemusyrikan dan kekufuran.

Layanan kesehatan berkualitas dijamin ketersediaannya. Semunya digratiskan oleh negara bagi seluruh warga negara yang membutuhkannya, tanpa membedakan ras, warna kulit, status sosial dan agama, dengan pembiayaan bersumber dari Baitul Mal. Hal ini terlihat dari apa yang dilakukan Rasulullah saw. kepada delapan orang dari Urainah yang menderita gangguan limpa. Saat itu mereka datang ke Madinah untuk menyatakan keislamannya. Mereka dirawat di kawasan pengembalaan ternak kepunyaan Baitul Mal, di Dzil Jildr arah Quba’. Selama dirawat mereka diberi susu dari peternakan milik Baitul Mal. Demikian pula yang terlihat dari tindakan Khalifah Umar bin al-Khaththab. Beliau mengalokasikan anggaran dari Baitul Mal untuk mengatasi wabah penyakit Lepra di Syam.

Banyak institusi layanan kesehatan yang didirikan selama masa Kekhilafan Islam agar kebutuhan masyarakat terhadap layanan kesehatan gratis terpenuhi. Di antaranya adalah rumah sakit di Kairo yang didirikan pada tahun 1248 M oleh Khalifah al-Mansyur, dengan kapasitas 8000 tempat tidur, dilengkapi dengan masjid untuk pasien dan chapel untuk pasien Kristen. Rumah sakit dilengkapi dengan musik terapi untuk pasien yang menderita gangguan jiwa. Setiap hari melayani 4000 pasien. Layanan diberikan tanpa membedakan ras, warna kulit dan agama pasien; tampa batas waktu sampai pasien benar-benar sembuh. Selain memperoleh perawatan, obat dan makanan gratis tetapi berkualitas, para pasien juga diberi pakaian dan uang saku yang cukup selama perawatan. Hal ini berlangsung selama 7 abad. Sekarang rumah sakit ini digunakan untuk opthalmology dan diberi nama Rumah Sakit Qolawun.

Kualitas layanan kesehatan yang persis sama juga diberikan oleh Rumah Sakit an-Nur yang didirikan pada masa Khalifah Bani Umayyah, al-Walid, tahun 706 M, di Damaskus. Rumah sakit ini menjalankan fungsinya selama 8 abad dan masih ditemukan sisa kejayaannya saat ini. Lembaga pendidikan kedokterannya berkualitas terbaik.

Pada masa Nizhamul Muluk, di Kota Ray didirikan rumah sakit bersalin terbesar untuk seluruh Persia, selain didirikan sekolah tinggi ilmu kebidanan. Para bidan desa mendapat pembinaan 2 hari dalam sepekan oleh dokter-dokter ahli kandungan. Dokter ahli kandungan yang terkenal antara lain Az-Zahrawi, Abu Raihan Albairuni (374 H) dan Bahrum Tajul Amin (380 H). Kedua sarana ini dibangun atas perintah Khalifah Harun al-Rasyid kepada al-Masawaih, dokter yang menjabat menteri kesehatan.

Negara tidak luput melaksanakan tanggung jawabnya kepada orang-orang yang mempunyai kondisi sosial khusus, seperti yang tinggal di tempat-tempat yang belum mempunyai rumah sakit, para tahanan, orang cacat dan para musafir. Untuk itu negara mendirikan rumah sakit keliling tanpa mengurangi kualitas pelayanan. Ini seperti pada masa Sultan Mahmud (511-525 H). Rumah sakit keliling ini dilengkapi dengan alat-alat terapi kedokteran, dengan sejumlah dokter. Rumah sakit ini menelusuri pelosok-pelosok negara.


Gratis dan Berkualitas

Tingginya kualitas layanan kesehatan gratis yang disediakan negara terlihat dari standar layanan yang diterapkan rumah sakit pemerintah. Tenaga medis yang diterima bertugas di rumah sakit, misalnya, hanyalah yang lulus pendidikan kedokteran dan mampu bekerja penuh untuk dua fungsi rumah sakit: menyehatkan pasien berdasarkan tindakan kedokteran yang terbaharui (teruji); memberikan pendidikan kedokteran bagi calon dokter untuk menjadi para dokter yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan pengobatan pasien. Hal ini terlihat dari tes yang dilakukan Adhud ad-Dawla terhadap seratus orang dokter calon tenaga medis di Al-‘Adhudi Bimaristan (rumah sakit). Yang lulus akhirnya 24 dokter saja.

Lokasi rumah sakit harus yang terbaik untuk kesehatan, seperti di atas bukit, atau di pinggir sungai. Bimaristan al-‘Adhudi (rumah sakit umum), misalnya, didirikan Adhud ad-Dawla pada tahun 371H/981 M, di pinggir Sungai. Air sungai mengalir melalui halaman gedung rumah sakit yang dikelilingi tembok dan ruangan-ruangan yang luas dan kembali ke mengalir ke Tigris. Lokasi ini dipilih Khalifah Harun ar-Rasyid berdasarkan arahan ahli kedokteran ar-Razi.

Rumah Sakit Marakesh (Ibukota Maroko), didirikan pada masa al-Mansyur Ya’qub Ibn-Yusuf, tahun 1190 M, merupakan rumah sakit yang cantik sekali, dengan tata taman yang sangat indah, dilengkapi aneka pohon buah-buahan, aneka bunga-bungaan, tiga telaga buatan dengan air yang mengalir ke semua terowongan.

Bangunan rumah sakit pasien wanita terpisah dari bangunan rumah sakit pasien pria. Masing-masing bangunan mempunyai ruangan-ruangan yang luas untuk pasien. Dokter perempuan bekerja di bagian rumah sakit pasien perempuan. Dokter pria bekerja di bagian rumah sakit pasien pria.

Ada ruangan perawatan khusus untuk anak-anak dan bayi, ruangan untuk pemeriksaan kandungan dan melahirkan. Ruangan juga dibagi berdasarkan jenis penyakit, seperti penyakit dalam, trauma dan fraktur dan penyakit menular. Pada masing-masing bagian bertugas seorang atau lebih dokter dan masing-masing tim dokter ini diketuai seorang dokter kepala. Semua dokter di rumah sakit dikepalai seorang dokter yang disebut “Al-Saur”. Para dokter ini ditugaskan secara bergiliran, pagi dan malam hari, agar mempunyai waktu istirahat yang cukup.

Semua ruangan dilengkapi dengan peralatan kedokteran dan peralatan yang dibutuhkan dokter. Rumah sakit juga dilengkapi perpustakaan yang menyediakan buku-buku kedokteran, seperti farmakologi, anatomi, fisiologi, hukum kedokteran dan berbagai ilmu lain yang terkait dengan kedokteran. Contoh rumah perpustakaan terbesar adalah perpustakaan Rumah Sakit Ibnu Tulun di Kairo, yang mengkoleksi 100.000 buku. Rumah sakit itu dilengkapi pula dengan laboratorium dan apotik yang memberikan obat berdasarkan resep dokter. Terdapat pula dapur dan berbagai ruangan lain yang dibutuhkan untuk pelayanan yang optimal. Sejumlah karyawan rumah sakit bekerja sebagai pekerja kesehatan, asisten atau dresser, servents, cleaning cervice, pembantu pasien.

Masing-masing pasien memiliki kartu rekam medik, yang berisi catatan observasi dokter, tindakan yang dilakukan dokter. Jika dokter mengalami masalah, seperti untuk penegakkan diagnosis, dia harus berkonsultasi dengan kepala bagian atau dokter kepala. Para dokter mengadakan pertemuan sesering mungkin untuk mendiskusi kasus-kasus yang dihadapi. Tidak diragukan lagi, forum ini seperti mini konfrensi ilmiah kedokteran yang dilakukan saat ini.

Sebagai rumah sakit yang berfungsi pula sebagai tempat pendidikan kedokteran, di rumah sakit-rumah sakit terdapat sejumlah dokter spesialis dan profesor yang biasa di pagi hari memeriksa kasus, bersama dengan para mahasiswa kedokteran tingkat awal. Para dokter spesialis dan profesor ini mengajar para mahasiswa, melakukan pencatatan dan membuat resep, ketika telah terbiasa mengobservasi dan belajar. Kemudian profesor tersebut biasanya menuju aula besar, di sekelilinginya duduk para mahasiswa kedokteran, ia membacakan isi buku kedokteran dan menjelaskannya, serta menjawab pertanyaan para mahasiswa. Biasanya dilakukan tes di akhir perkualiahan. Mahasiswa diberi izin untuk bekerja pada bagian spesialis mereka. Hal ini, selain bagian dari proses pendidikan, juga pencegah para mahasiswa menjadikan pasien sebagai kelinci percobaan.

Kembali pada fungsi rumah sakit sebagai tempat layanan kesehatan, kontrol terhadap mutu pelayanan dilakukan secara ketat. Tim ahli yang diangkat Khalifah yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan layanan rumah sakit. Tim ini mengevaluasi, antara lain, isi catatan rekam medik pasien, pelayanan yang diperoleh pasien, makanan yang diberikan kepada pasien, apakah para dokter melaksanakan tugasnya secara sempurna. Dengan begitu rumah sakit selalu dalam kompetensi yang tinggi secara teknis, scientifically danadministratively.

Demikianlah sebagian permata indah yang tersimpan dalam catatan sejarah peradaban emas Khilafah di bidang kesehatan, yang tak tertandingi oleh peradapan manapun. Sungguh, dunia sangat merindukan kembali hadirnya keindahan permata itu di tengah-tengah kehidupan yang nyata. Allahu a’lam. []


Daftar Rujukan

Al-Maliki. Politik Ekonomi Islam. Al-Izzah. Bogor. 2008?

Deuraseh, N. The Book of Medicine (Kitab ath-Thibb) of Sahihal-Bukhari Prevention of Illness and Preservation of Health Perspectives. Part Two.Journal of the Bahrain Medical Society. Vol 20. No 2. April 2008.

Rini, Susrini, R., Waraharini, P. Sehat Seutuhnya Untuk Semua. ForMi-t. Jakarta. 2008.

Al-Ghazal, S. Medical Ethics in Islamic History at a Glance. JISHIM, 3. 2004.

Yamani, J. K. Kedokteran Islam dari Masa ke Masa. Dzikra. Bandung. 2002….

Al Badri, A. A. Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam. GIP. 1990

Al-Ghazali, Sharif Kaf. “The Origin of Bimaristans (hospitals) in Islamic Medical History,”http://www.islamicmedicine.or/bimaristan.htm.

Ragheb, E. “Hospital in Islamic Civilization,” http://en.islamstory.com/hospital-in-islamic-civilization.html.

Al-Faruqi, I dan Al-Faruqi, L. Atlas Budaya: Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang. Mizan. Bandung. 1998.

Ibn Abi Usaibi’ah, Uyun al-Anba, PP. 415 dalam Al-Ghazali, Sharif Kaf. “The Origin of bimaristans (hospitals) in Islamic medical history,”http://www.islamicmedicine.or/bimaristan.htm.



* copied from AL-WA'IE edisi JUNI 2011

Will, Way, and Hope


Actually I've posted it in my wordpress but only the picture. I just want to write about why I make this quote, besides I haven't posted in this blog such in a long time. But maybe I'm going to write just in few words.

When there's a will, there must be a way, and hope is lying there as well

Maybe, some people also have this quote to make sure that if we have a will, we should believe that we will find the way to make it come true, no matter what it is. I also add that hope is always lying there too. I believe in every time and every chance we try, there should be a hope. So, we don't have to worry, just do our best and we will get the best.