Tampilkan postingan dengan label analisis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label analisis. Tampilkan semua postingan

Rabu, Agustus 06, 2014

Ganti Presiden, Perubahan untuk Indonesia?




Pemilihan Presiden telah berlangsung beberapa hari yang lalu. Sampai hari ini banyak lembaga survey melakukan penghitungan cepat (quick count) untuk meninjau hasil suara yang didulang oleh kedua calon pasangan presiden dan wakil presiden. Hanya saja, masalahnya, banyak lembaga survey yang ternyata disokong oleh masing-masing pasangan capres dan cawapres tersebut, sehingga bisa kita saksikan hasil suara yang disajikan oleh beberapa lembaga survey tersebut tidak objektif.  Hal ini tentunya sangat membingungkan masyarakat yang juga ingin ikut meninjau hasil perhitungan cepat pilpres tahun ini.

Dari hasil Quick Count Pilpres menunjukkan beberapa survei yang memenangkan masing-masing dua belah pihak. Puskaptis, JSI, LSN dan IRC memenangkan Prabowo. Sementara Litbang Kompas RRI, SMRC, CSIS-Cyrus, LSI, IPI, Poltracking Institut dan Populi Center memenangkan Jokowi.

Pemilu presiden tahun 2014 ini memang banyak menuai kontroversi. Sebelum kampanye pilpres dimulai, masyarakat sudah dibanjiri dengan black campaign atas masing-masing calon. Persaingan pilpres kali ini begitu ketat dan keras, sehingga tak jarang masyarakat pun ikut main sikut untuk membela pasangan yang didukungnya. Namun, sebuah pertanyaan muncul, apakah harapan masyarakat Indonesia akan terwujud melalui pemimpin barunya nanti?

Layakkah Berharap pada Demokrasi?

Dalam visi misi yang dibawa kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden, terlihat tidak ada yang terlalu signifikan dari pemerintahan sebelumnya. Mereka hanya akan melakukan pertambahan dan perbaikan pada program-program yang telah ada. Selain itu, dalam landasannya, kedua pasangan ini masih tetap menyandarkan segala kebijakan yang akan mereka ambil sesuai dengan jalan demokrasi dan standarnya pada asas sekulerisme.

Kampanye keduanya memang sangat menarik simpati dan dukungan masyarakat. Masyarakat pun tergiur dengan janji-janji yang diucapkan oleh mereka. Namun, kita akan menunggu aksi salah satu dari kedua pasangan capres dan wapres ini ketika mereka memenangkan pemilu presiden nanti. Apakah janji yang telah mereka ucapkan ini akan mereka realisasikan? Ataukah hanya sekedar bualan manis yang menghipnosis rakyat saja?

Kita mesti bercermin pada masa lalu, yaitu pada sosok pemimpin yang telah duduk di singgasana istana negeri ini sebelumnya. Dahulu mereka pun menjual kata-kata manis pada rakyatnya. Tapi tengoklah fakta negeri ini sekarang, begitu sengsara, miskin menjerat, dan hidup sekarat. Pemerintah kita gemar sekali berutang yang dinikmati oleh mereka sendiri. Korupsi telah menjadi pemandangan biasa yang terjadi tiap harinya. Kriminalitas meningkat tajam. Apakah aparat negeri ini bisa mengatasi kasus-kasus yang melanda warganya ketika mereka masih membawa demokrasi? Tidak ternyata. Buktinya, hukum-hukum pidana yang ada pun tak pernah memberikan efek jera pada setiap pelakunya. Itulah sistem dalam demokrasi. Hanya memberikan manfaat kepada para pejabat elit dan pemilik modal besar. Sedangkan rakyat menjadi ‘tumbal’ bagi sistem buatan manusia ini.

Ganti Orang Saja Tidak Cukup
Pergantian kepemimpinan kerap dilakukan setiap lima tahun sekali dalam pemilu. Selama itu pula, kebijakan yang diambil terus berganti. Kursi-kursi di parlemen memang sering kali diisi oleh para pemegang kebijakan yang kurang amanah, dan bukan pada orang yang kompeten di bidangnya. Rezim korup dan bobrok memang masalah besar. Akan tetapi, masalah besar itu bukan datang dari orang-orangnya saja. Sistem demokrasi yang rusak dan merusak itulah akar masalah selama ini.

Sistem demokrasi adalah sistem hasil pemikiran manusia yang serba terbatas dan dipenuhi oleh kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, demokrasi hanya akan cocok pada orang yang menerapkannya. Sedangkan orang yang terpaksa mengikutinya justru akan menjadi korban dari sistem yang memang cacat sejak lahir ini.

Indonesia sendiri sudah mengalami pergantian kepemimpinan selama enam kali, dan tahun ini adalah yang ketujuh kalinya. Negeri ini memang tidak pernah menerapkan sistem selain demokrasi. Hanya jenisnya saja yang berbeda, misalnya demokrasi terpimpin pada Orde Lama atau demokrasi Pancasila pernah diterapkan, dan saat ini sistem demokrasi yang dipakai cenderung liberal. Hampir selama 70 tahun semenjak Indonesia merdeka, bangsa ini tidak lepas dari jerat demokrasi. Apakah ada perubahan nyata dan signifikan yang dirasakan oleh masyarakat bangsa ini? Tidak. Yang ada justru semakin terpuruk dan semakin sengsara. Itulah buah hasil demokrasi serta orang-orang yang mengamalkannya.

Oleh karena itu, pergantian rezim saja tidak cukup. Butuh adanya sistem baru yang akan mendobrak sistem yang rusak ini. Sistem itu adalah sistem Islam. Sistem yang akan melahirkan orang-orang jujur dan amanah. Sistem yang akan menerapkan segala aturan dari Sang Pencipta, Allah swt. Itulah sistem yang datang dari Yang Maha Kuasa.

Islam, Sistem Rahmatan lil ‘Alamin

Pengaturan politik serta kekuasaan diatur secara rinci oleh syariat Islam. Rasulullah saw. adalah teladan nyata bagi kepemimpinan atas umat. Selain tugas beliau sebagai Rasul Allah, beliau juga adalah pemimpin negara Islam pertama di Madinah Al-Munawarah. Namun, bukanlah beliau yang membuat aturan, tetapi Allah saja yang membuat aturan. Begitulah syariat Islam diterapkan pertama kalinya dalam bingkai Daulah Islam. Kemudian, sistem ini diteruskan oleh para pengganti beliau yaitu para Khulafaur Rasyidin. Meski berganti kepemimpinan, tetapi sistem yang diterapkan tetaplah syariat Islam dalam Khilafah Islamiyah, yang juga kemudian digantikan oleh para khalifah setelahnya, hingga 13 abad lamanya.

Mengapa harus sistem Islam? Allah SWT telah mewajibkan penguasa untuk memerintah rakyat hanya dengan syariah-Nya saja. Allah SWT mengharamkan penguasa untuk menerapkan hukum-hukum kufur atau yang berasal dari luar Islam. Allah SWT mensifati orang yang tidak berhukum dengan syariah-Nya sebagai kafir (QS al-Maidah: 44), zalim (QS al-Maidah: 45) atau fasik (QS al-Maidah: 47).

Islam melarang kaum Muslim, termasuk penguasa mereka, untuk mencari dan mengambil dari selain Islam atau mendatangkan sesuatu yang tidak ada ketentuannya dalam Islam. Semua itu tidak akan diterima oleh Allah SWT. Karena itu dengan tegas Allah memerintah kita untuk menghukumi masyarakat dengan hukum Islam dan tidak mengikkuti hawa nafsu manusia atau rakyat. Allah SWT berfirman: Karena itu hukumilah mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepada kamu (TQS al-Maidah [5]: 48).

Sistem demokrasi sejatinya merupakan sistem yang dibuat manusia untuk manusia lagi. Ketika manusia membuat sebuah hukum, maka di dalamnya hanya akan penuh dengan kepentingan sang pembuat hukum. Oleh karena itu, demokrasi tidak akan pernah menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Berbeda dengan aturan Islam yang datang langsung dari Allah swt. Sang Pencipta manusia dan alam semesta, jelas Islam akan membawa perubahan yang nyata untuk seluruh masyarakat yang dinaunginya dalam Khilafah Islamiyah. Begitulah Islam akan menjadi sistem yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Lalu, masihkah kita berharap pada orang yang akan memimpin negeri ini ketika mereka masih menjadikan demokrasi sebagai tuannya? Jangan berharap negeri ini akan berubah menuju kebaikan. Sebaliknya, Indonesia akan semakin terpuruk. Jadi, berharaplah pada Islam, yang akan membawa perubahan sebenarnya. Oleh karena itu, perjuangan umat akan pergantian sistem sangatlah dibutuhkan. Perubahan itu ada di tangan umat yang akan menggiring Negara ini menuju penerapan Islam secara sempurna dalam Khilafah Islamiyah.

Minggu, Mei 25, 2014

Wahai Indonesia, Bangkitlah dengan Islam


kulihat ibu pertiwi
sedang bersusah hati
air matamu berlinang
mas intanmu terkenang

hutan gunung sawah lautan
simpanan kekayaan
kini ibu sedang susah
merintih dan berdoa



            Senandung bait pertama lagu Ibu Pertiwi yang diperkirakan ditulis pada tahun 1950-an ini terus mengalun hingga kini. Bagaimana tidak, sang Ibu masih terus menangis dan merintih di tengah kekayaannya yang melimpah. Padahal katanya, sang Ibu telah merdeka hampir 69 tahun. Lalu mengapa sang Ibu masih terus menangis?

Indonesia Bangkit, Perlukah Nasionalisme?

            Bulan ini, masyarakat Indonesia akan merayakan Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei. Dalam sejarahnya, gerakan Boedi Oetomo dianggap sebagai gerakan pertama yang menjadi cikal bakal gerakan lainnya yang memunculkan kesadaran rakyat Indonesia atas penjajahan asing. Sehingga, lahirnya Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei ini pun dijadikan sebagai hari untuk memperingati Kebangkitan Nasional.

            Sebagian orang menganggap bahwa lahirnya kebangkitan nasional haruslah diawali dengan sikap nasionalisme tinggi terhadap bangsa. Mereka menganggap bahwa kita adalah bangsa yang satu, yang tinggal di wilayah yang sama, diatur oleh undang-undang yang sama, memiliki sejarah dan cita-cita yang sama serta memiliki tugas yang sama yaitu mempertahankan kemerdakaan bangsa ini. Oleh karena itu kita perlu bersatu untuk bangkit dari keadaan yang terpuruk ini.

            Indonesia adalah Negara yang memiliki heterogenitas tinggi. Masyarakat dari berbagai suku bangsa, adat-istiadat, warna kulit, dan bahasa bercampur di dalam Negara ini. Maka dari itu, Indonesia memiliki semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang artinya meski berbeda-beda tetapi tetap satu. Dengan nasionalisme atau satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah Negara, maka Negara ini akan bisa bangkit. Itulah yang sering dikatakan para politisi atau orang-orang yang mengklaim memiliki rasa cinta terhadap tanah air. Sikap nasionalisme selalu dinilai paling relevan dan efektif untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa. Banyak pula yang menganggap, bahwa dengan nasionalisme pada tahun 1945 Indonesia berhasil memplokamasikan diri sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat penuh. Sehingga tak sedikit yang menilai bahwa dengan nasionalisme, Negara ini akan bangkit seperti era kemerdekaan dulu. Namun benarkah hal itu?

            Sebuah kebangkitan sejati sebenarnya bisa diperoleh ketika taraf berpikir suatu masyarakat itu meningkat, yaitu dengan diembannya sebuah ideologi yang menjadi arah pandang sekaligus cara berpikir suatu bangsa tersebut. Dari pemikiran sebuah ideologi inilah yang akan mengantarkan masyarakat untuk bangkit karena didasari atas kesadaran berpikirnya.  Nasionalisme sendiri bukanlah termasuk ke dalam ideologi. Nasionalisme menurut situs Wikipedia adalah paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (nation) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Menurut Dr. Hertz dalam bukunya yang berjudul Nationality in History and Politics mengemukakan empat unsur nasionalisme, yaitu: 1) Hasrat untuk mencapai kesatuan; 2) Hasrat untuk mencapai kemerdekaan; 3) Hasrat untuk mencapai keaslian ; 4) Hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ali dkk., 1994:89), nasionalisme memiliki pengertian:  (1) kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya serta berpemerintahan sendiri; (2) golongan manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal-usul yang sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan; dan (3) kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan yang biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Dapat kita simpulkan bahwa nasionalisme bukanlah sebuah ideologi yang memiliki ide dasar dan darinya lahirlah peraturan-peraturan. Nasionalisme hanyalah sebuah paham atau ikatan atau sikap untuk meninggikan bangsanya atau sering disebut juga dengan cinta terhadap tanah air.

            Ikatan nasionalisme merupakan ikatan yang bersifat temporal. Maksudnya adalah bahwa ikatan ini hanya muncul ketika ada sebuah ancaman. Jadi ikatan ini tidak akan membawa pada kebangkitan yang sejati, karena ikatan ini muncul sementara saja ketika Negara ini mendapat ancaman nyata saja. Sejatinya, kita lihat hari ini bahwa nasionalisme justru memecah belah kesatuan umat Muslim di dunia hanya karena sekat-sekat batas teritori Negara saja. Padahal ikatan yang sejati pada umat Muslim adalah ikatan aqidah. Jadi jelas, ikatan nasionalisme tidak akan membawa pada kebangkitan yang sebenarnya, yang ada justru sikap saling menyikut antar bangsa meski memiliki aqidah yang sama yaitu Islam.

Demokrasi pun Tak Akan Berikan Kebangkitan

            Tahun 2014 ini adalah tahun Pemilu bagi bangsa Indonesia. Masyarakat berharap penuh akan perubahan untuk negeri yang mereka tinggali ini. Pemilu legislatif telah berlangsung bulan lalu, hasilnya pun sudah bisa kita saksikan. Angka golput menjadi pemenang dalam pemilu dengan hasil raihan sebesar 24,89 persen, jauh mengalahkan raihan suara partai politik yang mendapatkan suara tertinggi. Meski secara keseluruhan raihan suara golput ini menurun dibandingkan pemilu tahun 2009 lalu, hal ini masih menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap parpol-parpol yang akan mengisi istana parlemen nantinya.

            Masyarakat sadar betul bahwa selama ini Indonesia telah mengalami pemilu dan pergantian kepemimpinan berkali-kali, tetapi sampai detik ini tidak ada perubahan nyata yang dapat dirasakan. Kemiskinan masih menjadi pemandangan umum, kriminalitas semakin meluas, tindak pidana korupsi semakin naik ke permukaan, UU semakin pro-asing, dan generasi muda semakin terancam akibat liberalisme. Pergantian orang-orang dalam parlemen tidak menghasilkan perbaikan yang nyata, justru keadaan yang semakin bobrok terus menggerus baik pada individu, masyarakat, maupun pemerintahnya sendiri.

            Sistem demokrasi yang merupakan induk dari kapitalisme selamanya tidak akan membuahkan perubahan dan kebangkitan yang sejati bagi bangsa ini. Yang ada hanyalah keterpurukan yang terus menjerat bangsa ini sedikit demi sedikit. Lihat saja, utang luar negeri Indonesia per Januari 2014 ini telah mencapai USD269,27 miliar atau Rp3.042,751 triliun jika mengacu kurs Rupiah sebesar Rp11.300 per USD (okezone.com, 19/03/14). Hal ini tentunya semakin mengokohkan cengkraman asing di Indonesia. Seluruh SDA di Indonesia telah beralih pengelolaannya kepada perusahaan-perusahaan asing. Asing semakin untung, sebaliknya bangsa ini menjadi buntung. Siapa lagi kalau bukan masyarakat yang paling merasakan dampak adanya kebijakan yang semakin liberal ini.

            Demokrasi tidak akan pernah memberikan kebangkitan pada bangsa ini. Sudah seharusnya bangsa ini mengganti sistemnya dengan sistem yang lebih solid dan terbukti bisa membawa perubahan besar dan nyata untuk dunia.

Bangkitlah dengan Islam

            Sudah dikatakan bahwa bangsa yang bangkit adalah bangsa yang tingkat berpikirnya tajam dan kesadarannya tinggi. Bangsa itu haruslah mengemban sebuah ideologi murni tanpa mencampuradukannya dengan yang lain. Islam adalah sebuah ideologi yang datang dari Sang Pencipta alam semesta ini. Islam adalah sebuah sistem alternatif untuk membawa bangsa ini pada kebangkitan yang sejati.

            Mengapa Islam? Rasulullah saw. sebagai satu-satunya suri tauladan bagi umat Islam telah membuktikannya. Sejarah telah mencatat bahwa Islam sebagai ideologi pernah diemban dalam sebuah institusi besar selama kepemimpinan Rasulullah saw. di Madinah, kemudian dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin dan khalifah-khalifah sesudahnya hingga meluas hampir ke dua pertiga dunia. Islam telah menjadi tonggak peradaban paling besar dan unggul selama 13 abad dengan kebaikan-kebaikan semua aspek yang tersebar di atas wilayahnya. Dunia menyaksikan kejayaan Khilafah dengan penerapan aturan Islam secara sempurna. Dahulu jazirah Arab hanyalah wilayah kecil yang dipenuhi oleh masyarakat bodoh (jahiliyyah) sebelum Islam datang. Namun ketika Rasul menyebarkan risalah ini dan kemudian menerapkannya dalam sebuah Negara, jazirah Arab bisa menandingi dua imperium besar yang berkuasa saat itu yaitu Romawi dan Persia, bahkan mengunggulinya. Inilah kebangkitan dan perubahan yang sesungguhnya.

            Sejatinya, Indonesia pun akan bisa bangkit ketika menjadikan Islam sebagai sebuah ideologi dan menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan tanpa harus memilah-milah. Karena hanya dengan Islam saja, bangsa ini akan bangkit dari keterpurukannya. Hanya dengan Khilafah saja, umat Muslim akan bangkit dari ketertindasannya. Ingatlah bahwa bumi ini milik Allah swt. Sudah seharusnya kita kembalikan dunia ini dengan penerapan aturan yang lahir dari Penciptanya saja. Oleh karena itu, saatnya bagi kita untuk memperjuangkan Islam sebagai aturan satu-satunya untuk menjadikan bangsa ini dan umat Muslim seluruhnya bangkit sesuai dengan apa yang Allah perintahkan.


Wahai ibu pertiwi, janganlah menangis
Mari ibu, bangkitlah dengan Islam
Karena hanya dengan cahaya Islam saja
Air matamu akan berhenti mengalir
Kesusahanmu akan sirna
Dan doamu segera terwujud
Mari melangkah wahai ibu,
Karena kembalinya Islam adalah janji-Nya

Wallahu’alam bisshawab


*tulisan ini dimuat di situs http://sosialnews.com/opini/wahai-indonesia-bangkitlah-dengan-islam.html 


Kamis, Mei 08, 2014

Watch Out! Darurat Kejahatan Seksual terhadap Anak!



Komisi Perlindungan Anak menetapkan tahun 2013 sebagai tahun darurat kekerasan seksual terhadap anak.  Pada 2012—2013 Komnas PA mencatat ada 3.023 kasus pelanggaran hak anak di Indonesia dan 58% atau 1.620 anak menjadi korban kejahatan seksual. Beberapa pihak bahkan memprediksi bahwa kejahatan seksual pada anak tahun 2014 ini meningkat. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Arist Merdeka Sirait memprediksi, pada tahun 2014, kasus kekerasan terhadap anak akan meningkat. Bahkan jumlah kasus diperkirakan bisa melonjak hingga 100 persen. Sekretaris Jenderal Komnas Anak Samsul Ridwan mengatakan, pihaknya mencatat tahun ini jumlah pengaduan kekerasan anak sebanyak 3.023 kasus. Angka ini meningkat 60 persen dibandingkan tahun lalu, yang hanya 1.383 kasus.  Dari jumlah tersebut, ia melanjutkan, 58 persennya atau 1.620 merupakan kasus kejahatan seksual terhadap anak. Jadi, jika dikalkulasi, setiap hari Komnas menerima pengaduan sekitar 275 kasus (tempo.co).
Data menunjukkan bahwa memang kasus ini akan semakin meningkat dan harus diwaspadai oleh setiap orang tua agar mengawasi setiap buah hatinya. Karena justru pelaku kriminal ini kebanyakan memiliki relasi dekat dengan korban.

Kasus yang menimpa beberapa anak di JIS mungkin hanya fenomena iceberg saja. Kasus yang sama yang tidak ter-blow up oleh media diperkirakan jumlahnya sangat besar. Kejahatan seksual pada anak sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Bahkan angka kejahatan ini diperkirakan akan semakin meningkat tiap tahunnya di tengah arus budaya yang serba bebas ini. Mungkinkah kasus kejahatan terhadap anak ini bisa dibendung?

Budaya Permisif, Liberalisme, dan Kapitalisme

Kasus kejahatan seksual terhadap anak terus meningkat. Tingkat persebaran kasus kejahatan ini hampir merata di setiap Negara. Hal ini karena liberalisme merebak dan menjangkiti setiap lapisan masyarakat. 'Liberalisme' didefinisikan sebagai suatu etika sosial yang menganjurkan kebebasan dan kesetaraan secara umum (Coady, 1995). Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama (Sukarna, 1981). Liberalisme sekarang ini telah banyak dianut oleh setiap bangsa sebagai cita-cita tertinggi.

Sebenarnya liberalisme sendiri lahir dari nilai-nilai demokrasi Barat yang menghendaki kebebasan. Dalam salah satu pilar demokrasi, kebebasan berperilaku menjadi standar gaya hidup bagi penganut demokrasi, disadari atau tidak. Kebebasan inilah yang menjadi paradigma berpikir kebanyakan manusia yang tidak lagi menggenggam prinsip agama dalam kehidupannya. Indonesia, sebagai salah satu Negara dengan tingkat heterogenitas suku bangsa yang tinggi, pun menganut nilai kebebasan ini. Jadi, wajar jika banyak dari masyarakatnya memiliki kepribadian dan kelakuan yang bebas sesuai dengan prinsip liberalisme ala Barat.

Begitu pula dengan paradigma naluri seksualnya. Dalam konsep Barat, naluri seksual adalah kebutuhan jasmani yang harus segera dipenuhi. Hal ini tercermin dari hasil seni dan budaya yang mereka hasilkan. Lihat saja, hasil-hasil seni yang lebih banyak merangsang hawa nafsu seperti dengan menunjukkan keindahan tubuh, cerita-cerita dan lagu-lagu yang berbau romantisme, dan juga film-film yang mengundang hasrat seksual, yang dengan itu bisa mencapai kepuasan naluri seksual mereka. Dengan berbagai macam cara, mereka berusaha untuk memenuhi hasrat seksual mereka bahkan dengan melakukan penyimpangan seksual sekalipun, seperti homoseksual, incest, pedofilia, nekrofilia, zoofilia, atau semacamnya yang semakin menjauhkannya dari fitrah sebagai seorang manusia normal. Namun tidak pernah ada tindakan tegas dari pemerintah terhadap para pelaku penyimpangan seksual ini.

Budaya dunia yang semakin permisif menjadikan manusia hidup sebebas-bebasnya sesuai apa yang dianutnya. Bahkan sistem kapitalisme menjadi pendukung utama agar Negara menjamin setiap kebebasan individu warga negaranya. Artinya, Negara tidak berhak mengganggu kebebasan tiap-tiap orang. Inilah yang akhirnya menjadikan hukum-hukum itu kebal di hadapan para pelaku kejahatan. Dengan uang, kebebasan dapat diraih. Undang-undang dan hukum pun takluk. Inilah kehidupan dalam sistem kapitalisme, karena kebebasan mendapat jaminan penuh dari si pembuat hukum.

Bagaimana Solusinya?

Harus kita apresiasi tinggi, bahwa Komnas Perlindungan Anak Indonesia cukup cepat tanggap untuk bisa menyelesaikan kasus kejahatan seksual terhadap anak yang terus meningkat. Namun tak cukup dengan itu, karena seharusnya Negara itulah yang memiliki wewenang tertinggi untuk bisa mengatasi setiap permasalahan yang terjadi pada masyarakatnya. Jika kita lihat, Indonesia sebenarnya memiliki undang-undang yang mengatur tentang kejahatan seksual atau pun tentang anak-anak. Akan tetapi, tampaknya undang-undang ini tidak memiliki ketegasan yang nyata.

Justru kasus yang sama berulang kembali seperti tak ada jejak hukuman bagi para pelaku. UU dan sanksi yang berlaku sama sekali tak memberikan efek jera.  Apa yang salah? Undang-undang memang ada, tapi lihatlah kapitalisme menjamin setiap kebebasan individu. Kontradiktif bukan? Artinya sekeras apapun undang-undang yang mengatur, ia akan takluk di bawah sistem yang menaunginya.

Islam Punya Solusi

Islam adalah sebuah aturan kehidupan yang komprehensif dan menyeluruh. Islam memiliki solusi atas setiap permasalahan yang terjadi di dunia ini, termasuk pun atas masalah kejahatan seksual terhadap anak. Dalam Islam, naluri adalah salah satu potensi yang diberikan Allah swt. kepada setiap manusia, salah satunya adalah naluri seksual atau naluri melestarikan jenis. Artinya, ia menjadi fitrah bagi manusia. Namun, sebagai makhluk Allah, manusia wajib tunduk terhadap aturan yang telah diturunkan-Nya. Manusia tidak boleh menuruti nalurinya sesuai kehendaknya sendiri. Naluri seksual hanya boleh muncul dalam kehidupan suami-istri dan terlarang dilakukan bagi selain pasangan yang telah halal baginya. Sebab, Islam menetapkan bahwa hakikat pemenuhan naluri ini adalah untuk melestarikan keturunan umat manusia, bukan kepuasan semata. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap Muslim. Oleh karena itu, untuk menjaga naluri ini Islam sangat mengaturnya. Islam mengaturnya secara khusus dalam sistem pergaulan, bagaimana interaksi antar perempuan dan laki-laki, hubungan dalam keluarga, etika interaksi dalam masyarakat, batasan-batasan aurat, dan lainnya.

Oleh karena itu, penyelesaian kasus ini tidak bisa dilakukan secara parsial, karena memang membutuhkan solusi sistemik. Negara dengan aparatur dan UU yang abai, sampai kapan pun kasus yang sama akan terus berulang. Akan tetapi, ketika aparatur dan sistemnya diubah, otomatis penyelesaian masalah pun akan ditindak secara berbeda. Secara mendasar, syariah Islam mengharuskan negara untuk senantiasa menanamkan akidah Islam dan membangun ketakwaan pada diri rakyat.  Negara pun juga berkewajiban menanamkan dan memahamkan nilai-nilai norma, moral, budaya, pemikiran dan sistem Islam kepada rakyat.  Hal itu ditempuh melalui semua sistem, terutama sistem pendidikan baik formal maupun non formal dengan beragam institusi, saluran dan sarana.  Dengan begitu, maka rakyat akan memiliki kendali internal yang menghalanginya dari tindakan kriminal termasuk kekerasan seksual dan pedofilia.  Dengan itu pula, rakyat bisa menyaring informasi, pemikiran dan budaya yang merusak.  Penanaman keimanan dan ketakwaan juga membuat masyarakat tidak didominasi oleh sikap hedonis, mengutamakan kepuasan materi dan jasmani.  Begitupun dengan semua itu rakyat banyak juga bisa terhindar dari pola hidup yang mengejar-ngejar dunia dan materi yang seringkali membuat orang lupa daratan, stres dan depresi yang membuatnya bersikap kalap. Selain itu, Negara tidak akan membiarkan pornografi dan pornoaksi tersebar di tengah-tengah masyarakat. Begitu pula dengan sanksi yang akan di dapat oleh pelaku kejahatan ini akan memberikan efek yang jera. Bagi para pelaku penyimpangan seksual seperti homoseksual, dalam sistem sanksi Islam, hukuman bagi para pelakunya adalah hukuman mati. Begitu pula dengan para pelaku pedofilia dalam bentuk sodomi akan dijatuhi hukuman mati. Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi).” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi)

Ijmak sahabat juga menyatakan bahwa hukuman bagi pelaku homoseksual adalah hukuman mati, meski diantara para sahabat berbeda pendapat tentang cara hukuman mati itu. Hal itu tanpa dibedakan apakah pelaku sudah menikah (muhshan) atau belum pernah menikah (ghayr muhshan). Jika kekerasan seksual itu bukan dalam bentuk sodomi (homoseksual) tetapi dalam bentuk perkosaan, maka pelakunya jika jika muhshan akan dirajam hingga mati, sedangkan jika ghayr muhshan akan dijilid seratus kali.  Jika pelecehan seksual tidak sampai tingkat itu, maka pelakunya akan dijatuhi sanksi ta’zir.  Bentuk dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad khalifah dan qadhi.

Begitulah Islam akan menjadi pencegah serta penyelesaian setiap masalah. Namun, itu semua tidak akan dapat terealisasikan ketika Islam belum diterapkan dalam sebuah institusi Khilafah Islamiyah. Karena sejatinya, dengan Khilafah saja syariat Islam akan tegak dan semua permasalahan akan dapat diatasi. Islam datang dari Allah swt. Tuhan yang menciptakan manusia dan alam semesta. Allah swt. pula yang telah menurunkan Al-Quran, dan menjadikan Muhammad saw. sebagai Rasul-Nya dan juga suri tauladan untuk diikuti oleh umatnya. Sudah saatnya bagi kita untuk mencampakkan sistem kapitalisme buatan manusia yang bobrok ini. Sebaliknya, justru ini adalah saatnya untuk menerapkan syariat Islam secara total dan menyeluruh dalam Daulah Khilafah Islamiyah.

Wallahu’alam bisshawab

dimuat di situs http://www.suara-islam.com/read/index/10789/Watch-Out--Darurat-Kejahatan-Seksual-terhadap-Anak-

Rabu, April 02, 2014

Demokrasi Hanya Lahirkan Kerusakan

                Sebentar lagi, hanya menghitung hari, masyarakat Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi yaitu pemilu raya untuk memilih anggota legislatif serta pemimpin bangsa ini. Berbagai poster, baligho, pamflet, bendera-bendera partai dan asesoris partai lainnya menghiasi setiap penjuru daerah. Program-program partai untuk membela rakyat dikoar-koarkan melalui media-media. Pemilu dijadikan sebagai ajang eksistensi bagi mereka yang mencalonkan dirinya sebagai calon legislatif atau para calon wakil rakyat yang katanya akan menyalurkan aspirasi rakyat. Namun pertanyaannya sekarang adalah akankah para pemimpin rakyat ini merealisasikan janji-janji yang mereka ucapkan sewaktu kampanye? Karena faktanya pada saat ini kita menemukan bahwa janji-janji itu seperti bisikan-bisikan mimpi yang penuh dengan kepalsuan tanpa pernah terwujud.  Rakyat sudah menyadari bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Kerusakan terjadi dalam semua ranah kehidupan. Masyarakat harus menyadari bahwa kerusakan yang melanda negeri ini dan sebagian besar negara lain di dunia adalah karena penerapan sistem demokrasi buatan manusia.

Kelahiran Demokrasi Kuno
                Sejarah membuktikan, demokrasi lahir di negara Yunani pada abad V SM silam. Istilah demokrasi mengandung dua kata yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan, sehingga demokrasi dapat diartikan sebagai kekuasaan atau pemerintahan rakyat.  Dalam perjalanannya sendiri di negeri kelahirannya, demokrasi tak dapat bertahan lama.  Meskipun Yunani kuno menggunakan sistem demokrasi dalam pemerintahannya, tetapi dalam praktiknya sistem ini memberikan kekuasaan pada pria elit saja untuk mengatur kekuasaan yang disebut dengan Majelis. Selain itu seperti yang dikatakan oleh Robert Dahl, seorang ahli tata negara, menyatakan bahwa demokrasi kuno yang dulu dipakai berbeda sekali dengan konsep demokrasi yang kita pahami saat ini. Dalam konteks Yunani kuno saat itu, kata ‘rakyat’ merujuk kepada sekumpulan orang yang tinggal dalam sebuah kota kecil. Sehingga pada saat ini, kita menemukan pengertian yang berbeda dengan konteks ‘rakyat’ itu sendiri dalam dunia kontemporer. Selain itu, dalam pandangan Yunani kuno, demokrasi harus memenuhi enam syarat, yaitu: 1) Warga negara harus cukup serasi dengan kepentingan mereka (para elit kekuasaan); 2) Mereka harus padu dan homogen; 3) Jumlah warga negara harus kecil (bahkan kurang dari 40.000); 4) Warga negara harus dapat berkumpul dan secara langsung memutuskan legislasi; 5) Warga negara harus berpartisipasi aktif dalam pemerintah; 6) Negara kota harus sepenuhnya otonom. Jelas syarat itu semua tak dapat dipenuhi oleh demokrasi modern saat ini.

Reinkarnasi Demokrasi
                Sistem demokrasi Yunani kuno pada akhirnya tak dapat bertahan lama, hal ini karena memang sistem itu sudah cacat sejak lahir. Sistem ini juga dikalahkan oleh pemerintahan Kekaisaran Romawi yang menguasai hampir seluruh daratan Eropa. Kekaisaran Romawi sendiri menganut pemerintahan monarki absolut dengan sistem teokrasi. Di dalamnya, raja berkolaborasi dengan gerejawan untuk memimpin negara. Raja dianggap sebagai wakil tuhan untuk mengatur kehidupan dunia, ia bekerja sama dengan gerejawan untuk mengendalikan rakyat dengan doktrin-doktrin yang bersifat otoriter seolah-olah dinisbatkan kepada tuhan. Kolaborasi raja dan gerejawan ini melahirkan penindasan berkepanjangan kepada rakyat Eropa, sehingga kita mengenal zaman ini sebagai ‘The Dark Ages’ atau Masa Kegelapan Eropa. Kemiskinan melanda rakyat Eropa karena pajak yang sangat tinggi, banyak ilmuwan dihukum mati karena dianggap bertentangan dengan doktrin agama, masyarakat diselimuti oleh kebodohan karena hanya orang-orang gereja saja yang dapat mengakses ilmu pengetahuan, berbagai macam penyakit menjangkiti masyarakat, dsb. Kemudian, terjadilah pemberontakan yang dipimpin oleh para filsuf dan ilmuwan, dimana mereka menuntut untuk memisahkan agama dari kekuasaan. Gereja tidak diperbolehkan untuk mencampuri urusan perpolitikan negara.  Dari sinilah lahir paham sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan seluruhnya. Agama dianggap sesuatu yang suci sehingga tidak boleh dicampurkan dengan aspek kehidupan lainnya. Istilah demokrasi kembali dipakai di Eropa setelah berabad-abad dicampakkan. Majelis rakyat kembali dipilih oleh rakyat untuk membuat hukum perundang-undangan dan pengaturan atas nama rakyat. Demokrasi pada akhirnya menjadi alternatif solusi yang dipakai hingga saat ini untuk menjadi sistem pemerintahan yang dipakai hampir sebagian besar oleh negara-negara di dunia.

Kritik terhadap Demokrasi
            Sebenarnya, demokrasi sudah mendapatkan kritik keras dari Aristoteles dengan menyebut sistem itu sebagai mobocracy atau the rule of mob, artinya adalah kekuasaan yang mengepung. Demokrasi digambarkan sebagai sistem yang bobrok, yang dikuasai oleh massa. Oleh karena itu, demokrasi rentan akan tindakan anarkis. Menurut Aristoteles, bila negara dipegang oleh banyak orang (melalui perwakilan legislatif) akan berbuah petaka. Dalam bukunya ‘Politics’, Aristoteles menyebut Demokrasi sebagai bentuk negara yang buruk (bad state). Menurutnya juga, negara Demokrasi memiliki sistem pemerintahan oleh orang banyak, dimana satu sama lain memiliki perbedaan (atau pertentangan) kepentingan, perbedaan latar belakang sosial ekonomi, dan perbedaan tingkat pendidikan. Pemerintahan yang dilakukan oleh sekelompok minoritas di dewan perwakilan yang mewakili kelompok mayoritas penduduk itu akan mudah berubah menjadi pemerintahan anarkis, menjadi ajang pertempuran konflik kepentingan berbagai kelompok sosial dan pertarungan elit kekuasaan. Apa yang dilontarkan oleh Aristoteles ini persis seperti yang sering kita saksikan di berita-berita, partai-partai politik saling beradu untuk mendapatkan kekuasaan tinggi demi mewujudkan kepentingannya di atas rakyat.

Demokrasi Hanya Lahirkan Kerusakan
          Kritikan Aristoteles sebenarnya harus menjadi tamparan keras bagi para politisi negeri ini. Demokrasi telah cacat sejak lahir dan tak pantas untuk diambil. Selain itu, reinkarnasi demokrasi yang terjadi di Eropa dahulu sebenarnya tak cocok untuk dipraktikkan. Indonesia dengan penduduknya yang mayoritas beragama Islam tidak pernah mengalami penindasan atas nama agama seperti yang terjadi pada masyarakat Eropa di abad pertengahan itu. Demokrasi bukanlah solusi tepat untuk mengatasi permasalahan yang terjadi saat ini. Justru demokrasi ialah akar dari permasalahan ini semua. Demokrasi gagal mempraktikkan doktrin mendasarnya yaitu kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat. Buktinya, orang-orang legislatif yang dianggap mewakili rakyat ini tidak pernah melahirkan kebijakan pro-rakyat. Rakyat memang memilih secara langsung para wakilnya, tetapi para wakil ini disediakan oleh parpol yang sarat dengan kepentingan, sehingga hak untuk bebas memilih sebenarnya hanya tipuan saja. Rakyat terbatas memilih para wakil rakyat yang sudah disediakan oleh parpol. Selain itu, dalam praktik demokrasi dimana pun, kekuasaan tetap saja berada di tangan elit politik maupun pemilik modal. Demokrasi gagal menjalankan doktrinnya sendiri.
              Selain itu, demokrasi juga berdiri di atas empat pilarnya, yaitu kebebasan beragama, berpendapat, berperilaku, dan berkepemilikan. Sesungguhnya, empat pilar ini juga merubuhkan institusi pemuja demokrasi. Lihatlah akibat pilar kebebasan beragama, aliran Ahmadiyah muncul dan tetap eksis, begitu pula dengan aliran-aliran dan akidah yang menyimpang lainnya tetap dibiarkan bahkan dipelihara oleh pemerintah. Kebebasan berpendapat membuat orang-orang yang anti-Islam menciptakan film penghinaan terhadap Rasulullah 'Innocence of Muslim' dan karikatur-karikatur untuk menjelek-jelekkan Rasul dan umatnya. Namun, kemarahan umat atas kejadian ini sama sekali tidak digubris oleh pemerintah kita yang juga notabene adalah Muslim. Remaja dan pemuda, yang menjadi tonggak peradaban suatu bangsa telah rusak dan hancur akibat menjadi pemuja kebebasan berperilaku. Hidup hura-hura disertai pergaulan bebas telah menjadikan mereka jauh dari identitas pemuda yang sebenarnya. Jika pemuda bangsa hancur, maka hancur pula bangsanya. Terakhir, adanya asas kebebasan berkepemilikan membuat bangsa ini terjajah. Sumber daya alam yang kaya dan melimpah ruah terus dikeruk oleh perusahaan-perusahaan asing, dan pemerintah tetap bungkam dalam kepura-puraannya. Sedangkan masyarakat dibiarkannya terjajah secara materi dan mental, kehidupannya tak lagi berharga ketika demokrasi merampas hak hidupnya. Agama telah dijauhkan di sisi terkucil dalam jiwa manusia, membuat mereka lupa seolah-olah mereka tak diawasi setiap gerak-geriknya oleh Yang Mahamelihat. Kemaksiatan terus terjadi dan tersebar dimana-mana. Itulah demokrasi sang pembuat kerusakan.

Masihkah Berharap pada Demokrasi?
                Masyarakat seharusnya menyadari, meskipun kepemimpinan di negeri ini sebentar lagi akan berganti, akan tetapi perubahan sejati tidak akan pernah terwujud selama masih diterapkannya sistem demokrasi. Mengapa? Karena rule of the system tidak berganti, orang-orang yang akan mengisi tampuk kepemimpinan pun pada akhirnya akan tetap menjalankan aturan yang ada, meskipun mereka mengaku memiliki program-program untuk melakukan perubahan. Faktanya, keadaan yang sama tidak akan pernah berubah. Rakyat tetap miskin, melarat, dan sengsara. Sedangkan elit politik serta para pemilik modal semakin adem ayem, karena undang-undang yang lahir menguntungkan mereka. Itulah sistem demokrasi buatan manusia. Ketika manusia memiliki wewenang untuk membuat hukum, maka aturan yang lahir disesuaikan dengan kepentingan dan hawa nafsunya saja. Aturan itu pun tidak memiliki acuan yang baku. Meskipun aturan di negara ini memiliki acuan baku yaitu berupa konstitusi UUD 1945, tetapi pada faktanya masih terdapat amandemen yang semakin liberal. Hal ini menunjukkan bahwa aturan itu tidak baku dan bersifat longgar. Itulah aturan buatan manusia. Jadi masihkah berharap pada demokrasi?

Islam Satu-satunya Jalan Perubahan  

"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin? 
(Q.S Al-Maaidah : 50)

                Hukum siapakah yang lebih baik untuk diterapkan di bumi ini? Apakah hukum buatan manusia (hukum jahiliyah) ataukah hukum Allah? Siapakah yang lebih mengetahui perkara akan makhluk-Nya, apakah manusia (yang diciptakan) atau Allah, Sang Pencipta alam semesta beserta isinya? Jelas jawabannya adalah hukum Allah swt. bagi orang-orang yang cerdas dan beriman. Jadi mengapa harus menerapkan Islam? Karena Islam datang dari Sang Pencipta, yaitu Allah swt. sebagai rahmatan lil ‘alamin.
              Banyak sekali ayat-ayat dalam Al-Quran, begitu pula dalam As-Sunah Rasulullah saw. untuk menggunakan Islam sebagai aturan kehidupan manusia di dunia.

"Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". Berkatalah ia:"Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat" Allah berfirman:"Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu(pula) pada hari inipun kamu dilupakan".
(Q.S Ath-Thaaha : 124-126)

                Hari ini kita mengalami kehidupan yang sempit itu berupa susahnya mengais rezeki, harga-harga kebutuhan yang semakin hari semakin naik, sulitnya beribadah, kejahatan tersebar dimana-mana, serta saudara Muslim kita di luar sana yang meregang nyawa tiap waktunya. Tidakkah kita merasa hidup kita itu sempit? Dari ayat tersebut mengindikasikan bahwa kita saat ini sedang berpaling dari peringatan Allah. Padahal ayat-ayat Quran tiap hari kita membacanya, tapi mengapa isinya tidak kita jalankan dalam kehidupan ini? Ini merupakan peringatan bagi kita bahwa sudah saatnya kita kembali pada hukum-hukum Allah, karena hukum Allah adalah hukum yang terbaik bagi manusia, dan karena Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, yaitu rahmat untuk alam semesta ini. Jadi, mengapa kita harus bersusah payah hidup dalam aturan manusia ketika Allah, Pencipta kita sendiri, sudah menyediakan aturan yang terbaik? Marilah kita bersama-sama memperjuangkan tegaknya kembali syariat Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah, sebuah institusi negara yang telah Rasulullah contohkan dan kemudian dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin dan khalifah-khalifah setelahnya. Jadi, tinggalkan demokrasi! Tegakkan Syariat dan Khilafah Islamiyah! Allahu Akbar!

Wallahu ‘alam bisshawab

*dari berbagai sumber

Rabu, September 04, 2013

Miss World: Kedok Eksploitasi Perempuan ala Kapitalisme

Lak-tolak-tolak tolak Miss World sekarang juga| Pus-hapus-hapus ekploitasi perempuan!
(yel-yel tolak Miss World Rabu, 4 September 2013, aksi dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Jawa Barat)
Aksi tolak Miss World di depan Gedung Sate
Suara penolakan kontes kecantikan sedunia alias Miss World bergema di seantero jagad Indonesia ini. Hampir kebanyakan ormas-ormas Islam menolak Miss World dilaksanakan di Indonesia, karena kontes ini hanyalah kedok para pebisnis untuk mengeksploitasi perempuan. Kontes semacam ini juga dapat merusak moral dan akhlak penduduk Indonesia, yang mayoritas Muslim. Kenapa, yuk disimak tulisan opini yang telah saya buat, check this out!



Tahun 2013, Indonesia berkesempatan menjadi tuan rumah ajang kompetisi perempuan sedunia atau biasa disebut dengan Miss World. Rencananya, kontes kecantikan yang akan digelar pada 23 September 2013 mendatang ini akan diadakan di dua kota besar, yaitu Bali dan dan Jakarta, sebagai tuan rumah bersama. Namun perhelatan dunia yang diadakan setahun sekali ini nampaknya menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Fakta Miss World
          Jika dilihat sejarah Miss World sendiri, kompetisi ini dimulai pada tahun 1951 oleh pasangan suami istri, Eric dan Julia Morley di Inggris. Pada mulanya, Miss World merupakan ajang kontes pertunjukan busana bikini yang sedang menjadi mode fashion teranyar pada masa itu, namun kemudian media menyebutnya dengan Miss World.  Pada tahun 1980, kontes ini mereposisi dirinya dengan slogan Beauty with a Purpose (Kecantikan dengan Tujuan), sehingga para panitia menambah tes kompetisi ini sehingga sesuai dengan slogan, yaitu tidak hanya memfokuskan pada kecantikan tetapi juga kecerdasan dan kepribadian para peserta.  Kontes Miss World adalah salah satu ajang kompetisi terbesar yang ada di dunia dan banyak menarik perhatian masyarakat dunia. Organisasi Miss World sendiri banyak meraup keuntungan yang besar tiap tahunnya.
          Demi mendapat perhatian masyarakat nasional dan dunia, para perempuan yang menjadi peserta ajang kompetisi ini rela ‘menjual’ kecantikan dan kemolekan tubuhnya di depan masyarakat dan media umum. Tak tanggung-tanggung busana yang dipakai dalam kompetisi ini adalah busana yang menunjukkan sebagian besar tubuh perempuan yang seharusnya ditutupi dan tidak boleh diperlihatkan secara umum. Meskipun ada isu mengatakan bahwa kompetisi yang akan dilaksanakan tahun ini tidak akan ada pertunjukkan bikini , tetapi tetap saja kompetisi ini adalah bentuk eksploitasi terhadap perempuan secara keseluruhannya.

Bentuk Eksploitasi terhadap Perempuan
          Kontes kecantikan memang tak hanya Miss World, banyak pergelaran serupa yang diadakan baik tingkat dunia seperti Miss Universe, maupun tingkat nasional seperti Puteri Indonesia dan Miss Indonesia.  Kontes semacam ini menjadikan perempuan sebagai pusat perhatian karena perempuan-lah pesertanya. Kecantikan dan kemolekan tubuh perempuan dinilai dan justru menjadi fokus perhatian dalam kompetisi, meskipun kecerdasan dan kepribadian mereka pun tetap menjadi aspek tambahan untuk menjuarai kontes ini. Akan tetapi, masyarakat dunia sekarang seolah tersihir oleh ajang yang justru sebenarnya dapat merusak akidah dan moral bangsa, terutama bagi negeri ini yang ditinggali oleh mayoritas kaum Muslim.
          Kontes Miss World dan semacamnya merupakan salah satu simbol ekploitasi terhadap perempuan dengan dalih pemberdayaan dan penggalian potensi diri.  Miss World adalah ikon pornografi dan eksploitasi perempuan. Meskipun tidak ada bikini, secara keseluruhan ajang ini adalah ajang pamer aurat. Mereka berjalan berlenggak-lenggok di depan khalayak umum yang notabene bukan mahramnya dengan mengenakan pakaian atau gaun yang memamerkan aurat. Mereka juga pada akhirnya akan menjadi model-model yang menjual produk pornografi di media yang akan dikonsumsi secara gratis oleh masyarakat. Jelas Miss World dan kontes semacamnya merusak akidah dan moral bagi bangsa ini.
          Selain itu, melalui ‘penjualan’ kecantikan dan kemolekan tubuh perempuan, kontes ini akan menghasilkan banyak keuntungan bagi para pemilik modal yang menjadi sponsor dalam perhelatan ini. Kompetisi yang diadakan setiap satu tahun sekali dan ditonton oleh berjuta-juta masyarakat dunia, jelas akan memberikan keuntungan besar bagi pemilik acara. Perempuan, lagi-lagi menjadi korban kapitalisme melalui kontes yang dikemas secara menarik dan menipu. Tentu saja, seharusnya hal ini merugikan pihak peserta sebagai perempuan. Tubuh berharga milik mereka pada akhirnya dijual murah kepada para pemilik modal yang justru mendapat keuntungan lebih banyak. Inilah kedok kapitalisme yang dibalut sedemikian rupa agar masyarakat terhipnosis oleh ajang kecantikan semacam ini, sehingga mereka tak sadar bahwa mereka sedang dieksploitasi. Sistem Kapitalisme telah menjadikan masyarakat buta dan rusak. Keuntungan dan materi selalu menjadi patokan dalam hidup, sehingga para penganut sistem ini meyakini bahwa segala kenikmatan duniawi harus diraih, kekayaan harus dimiliki, popularitas harus dicari, tanpa memperhatikan bahwa ada Zat yang Mahatinggi yang seharusnya dijadikan poros hidup. Itulah sistem Kapitalisme yang merusak manusia dimana sekulerisme atau pemisahan agama dari kehidupan dijadikan sebagai landasan hidup.

Islam Menjamin Harga Diri Perempuan
          Tak ada yang dapat menjamin perlindungan kepada perempuan kecuali Islam.  Islam menempatkan perempuan pada posisi yang mulia. Islam menyuruh kepada setiap Muslimah untuk menutup auratnya secara sempurna dengan kerudung (An-Nur: 31) dan jilbab (Al-Ahzab: 59). Perempuan diposisikan sebagai makhluk mulia di mata keluarga, masyarakat, dan negara. Negara wajib menjamin kesejahteraan dan melindungi perempuan di mana pun berada. Perempuan mendapat jaminan untuk dilindungi dan bukan dieksplotasi apalagi melalui aurat tubuhnya. Islam juga melindungi perempuan dengan menyuruh kepada laki-laki yang bukan mahramnya untuk menundukkan pandangan kepada mereka. Dengan itulah, perempuan akan merasakan keamanan yang nyata karena Islam telah menjamin seluruhnya. Berbeda dengan kondisi sekarang, yang justru perempuan dieksploitasi kecantikan tubuhnya. Perempuan dijadikan produk untuk mendapatkan keuntungan bagi para pemilik modal yang rakus akan kekuasaan, serta perempuan juga dijadikan sebagai objek pemuasan hawa nafsu laki-laki yang melihat kemolekan tubuhnya melalui ajang-ajang kecantikan semacam Miss World.

          Islam menilai perempuan  bukan dari ukuran tubuh atau kecantikan fisiknya semata, akan tetapi keimanan dan ketakwaan itulah yang akan menempatkan perempuan kepada derajat yang tinggi di mata Allah swt.  Namun kesempurnaan Islam hanya akan dapat dirasakan ketika Islam dan seluruh aturannya diterapkan dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Disanalah keamanan dan kehormatan perempuan akan terwujud, bukan dalam sistem Kapitalisme yang sekarang masih diterapkan di negeri ini. 

Wallahualam bisshawab

Kamis, Januari 31, 2013

Suriah dan Masa Depan Kaum Muslim

Suriah kini menjadi pusat perhatian seluruh dunia. Bagaimana tidak? Konflik dan perang saudara terjadi di sana semenjak tahun 2011 lalu. Sebenarnya tak hanya perang saudara, Revolusi Suriah adalah pertarungan ideologi, tiga ideologi besar dunia berkecamuk di dalamnya yaitu Kapitalisme, Sosialisme, dan Islam. Oleh karena itu, semua pihak berusaha menyetir arah revolusi ini, akan kemana akhirnya?

Berikut ini adalah analisis singkat dari saya mengenai berbagai fakta yang terjadi di Suriah dan prediksi mengenai akhir dari revolusi murni di Suriah ini.





Kondisi Suriah saat ini masih terus diguncang oleh revolusinya. Pihak pemerintah Suriah diperkirakan akan jatuh beberapa saat lagi. Bashar Al Assad cepat atau lambat akan jatuh dari kursi kediktatorannya selama ini. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan masyarakat dunia saat ini adalah siapakah yang akan menggantikan pemerintah Suriah yang akan jatuh? Tentunya, revolusi Suriah tidak pernah akan lepas dari mata Amerika yang bertindak sebagai polisi dunia. Amerika sudah pasti akan turut campur dalam melakukan ‘pembebasan’ terhadap Suriah. Tak ayal, melalui  inisiatif PM Turki Erdogan seperti yang dikutip berbagai media pada 17 dan 18 Desember 2012 lalu, Amerika dan sekutunya telah menyiapkan suasana-suasana untuk inisiatif Erdogan ini. Erdogan menyebutkan bahwa “Bashar turun dari kekuasaan pada tiga bulan pertama tahun 2013 dan kekuasaan pada masa transisi diserahkan kepada Komisi Nasional”. Pernyataan itu pun diperkuat dengan dukungan wakil Presiden Suriah, al-Shara pada tanggal 15 Desember 2012 yang lalu. Selain itu, Rusia, yang terkenal dengan dukungan paling tinggi terhadap pemerintahan Bashar al Asshad, pun menganggap inisiatif Erdogan itu inovatif dan tidak menolaknya. Tugas Amerika dan aliansinya pada saat ini adalah tentu saja menyiapkan koalisi pada masa transisi untuk tetap mencengkram Suriah dengan politik demokrasinya, seperti yang terjadi pada Mesir dan Tunisia. Hal ini tentunya tidak akan membawa perubahan pada kondisi rakyat Suriah, justru yang terjadi adalah penjajahan-penjajahan ala pemerintah buatan Barat akan terus menghantui rakyat Suriah.
            Revolusi Suriah berbeda dengan tiga Negara Timur Tengah lainnya, karena jelas rakyat Suriah menginginkan sebuah pemerintahan baru disana, pemerintahan yang berdasarkan hukum-hukum Allah, bukan pemerintahan demokrasi ala Barat. Para Mujahidin, kebanyakan orang menyebut mereka pemberontak, telah menolak semua tawaran dari Barat untuk berdamai dengan pemerintah Suriah. Bahkan mereka pun menolak dengan mentah-mentah bantuan yang akan diberikan oleh Amerika dan para boneka pengikutnya. Inilah keteguhan para mujahidin Suriah terhadap perintah Allah. Dalam nyanyi-nyanyian mereka disebutkan mereka tidak takut kecuali pada Allah saja. Hal inilah yang sekarang menjadi ketakutan Amerika dan aliansinya yaitu akan kembalinya pemerintahan Islam di dunia.
            Untuk mencegah tegaknya Islam di Suriah, Amerika mencari upaya agar pasukannya dapat didaratkan di sana dengan cara apapun. Misalnya, isu penyalahgunaan senjata kimia yang dipakai oleh tentara Bashar al Assad dikhawatirkan akan jatuh ke tangan para pemberontak (Mujahiddin) dan dipakai untuk menyerang balik tentara-tentara dan warga Suriah. Untuk menanggapi isu tersebut, Amerika mengancam akan mengirimkan pasukannya disana untuk berjaga-jaga jika saja hal tersebut akan  terjadi. Tentu saja, dengan upaya ini pasukan Amerika bisa dapat dengan mudah untuk bertindak di sana. Selain itu, ada pula rencana dari Turki dan juga Amerika akan bersama-sama menjaga wilayah perbatasan antara Turki dan Suriah. Dengan alasan menghadapi ancaman Suriah, Turki, sebagai anggota NATO, meminta NATO untuk mengirimkan pasukannya ke wilayah perbatasan Suriah. Menhan AS Leon Panetta (14/12/12) pun diminta untuk menandatangani perintah mengirimkan dua baterai rudal Patriot ke Turki bersama 400 pasukan tentara AS untuk mengoperasikannya. Hal ini patut dicurigai karena Amerika berupaya menyingkirkan kelompok mujahidin Suriah yang sudah dilistnya sebagai organisasi teroris internasional. Jabhat An-Nushrah, kelompok Mujahiddin yang diakui paling kuat serangannya terhadap tentara-tentara Bashar Al-Assad muncul sebagai ancaman terbesar bagi Amerika. Sementara itu, Rusia, sebagai pihak yang paling pro terhadap pemerintahan Suriah, sedang mengerahkan lima kapal perangnya yang berisi ratusan pasukan. Alasan yang Rusia gunakan adalah untuk mencegah pasukan Barat melakukan intervensi di daerah konflik tersebut. Dalam Sunday Times dari para diplomat Rusia juga disebutkan bahwa kapal-kapal yang dikirimkan ke Suriah tersebut adalah untuk mengevakuasi ribuan warga Rusia yang masih berada di sana. Wajar jika Amerika dan para sekutunya sangat takut jika kekuatan baru Islam di dunia akan muncul di Suriah. Hal ini tentunya merupakan ancaman terbesar bagi mereka karena jika kekuatan Islam muncul, maka Barat akan sangat sulit untuk mencengkram Negara-negara Muslim di dunia melalui ideologi kapitalisnya seperti sekarang.
            Akhir dari revolusi Suriah hanya tinggal menunggu waktu saja. Tanda-tanda kejatuhan Assad sudah di depan mata, hal itu pun diakui oleh Barat. Hanya saja, kekuatan manakah yang akan muncul sebagai pemenang? Apakah para Mujahiddin Suriah yang didukung oleh rakyat Suriah akan muncul sebagai pemenang? Ataukan Barat kembali lagi akan ‘mengaborsi’ revolusi negeri itu seperti yang dilakukannya terhadap Mesir, Tunisia, dan Libya? Padahal jelas-jelas perubahan yang terjadi di negeri-negeri Muslim yang mengalami Arab Spring seperti tiga negara tersebut tidaklah hakiki, demokrasi masih mengukung mereka. Buktinya, kondisi Mesir dan Tunisia masih dalam keadaan yang rumit pasca jatuhnya para diktator negara tersebut. Revolusi Suriah sangat diharapkan akan dapat membangkitkan kembali kondisi kaum Muslim, yang pada faktanya saat ini sedang terpuruk, di seluruh dunia. Kemenangan Suriah oleh rakyat dan Mujahiddin adalah kemenangan bagi seluruh Muslim dan dunia, karena disanalah pada akhirnya Islam akan menjadi sistem yang rahmatan lil ‘alamin, menjadi rahmat bagi seluruh alam. 

Wallahu'alam bisshawab