Kamis, Mei 08, 2014

Watch Out! Darurat Kejahatan Seksual terhadap Anak!



Komisi Perlindungan Anak menetapkan tahun 2013 sebagai tahun darurat kekerasan seksual terhadap anak.  Pada 2012—2013 Komnas PA mencatat ada 3.023 kasus pelanggaran hak anak di Indonesia dan 58% atau 1.620 anak menjadi korban kejahatan seksual. Beberapa pihak bahkan memprediksi bahwa kejahatan seksual pada anak tahun 2014 ini meningkat. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Arist Merdeka Sirait memprediksi, pada tahun 2014, kasus kekerasan terhadap anak akan meningkat. Bahkan jumlah kasus diperkirakan bisa melonjak hingga 100 persen. Sekretaris Jenderal Komnas Anak Samsul Ridwan mengatakan, pihaknya mencatat tahun ini jumlah pengaduan kekerasan anak sebanyak 3.023 kasus. Angka ini meningkat 60 persen dibandingkan tahun lalu, yang hanya 1.383 kasus.  Dari jumlah tersebut, ia melanjutkan, 58 persennya atau 1.620 merupakan kasus kejahatan seksual terhadap anak. Jadi, jika dikalkulasi, setiap hari Komnas menerima pengaduan sekitar 275 kasus (tempo.co).
Data menunjukkan bahwa memang kasus ini akan semakin meningkat dan harus diwaspadai oleh setiap orang tua agar mengawasi setiap buah hatinya. Karena justru pelaku kriminal ini kebanyakan memiliki relasi dekat dengan korban.

Kasus yang menimpa beberapa anak di JIS mungkin hanya fenomena iceberg saja. Kasus yang sama yang tidak ter-blow up oleh media diperkirakan jumlahnya sangat besar. Kejahatan seksual pada anak sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Bahkan angka kejahatan ini diperkirakan akan semakin meningkat tiap tahunnya di tengah arus budaya yang serba bebas ini. Mungkinkah kasus kejahatan terhadap anak ini bisa dibendung?

Budaya Permisif, Liberalisme, dan Kapitalisme

Kasus kejahatan seksual terhadap anak terus meningkat. Tingkat persebaran kasus kejahatan ini hampir merata di setiap Negara. Hal ini karena liberalisme merebak dan menjangkiti setiap lapisan masyarakat. 'Liberalisme' didefinisikan sebagai suatu etika sosial yang menganjurkan kebebasan dan kesetaraan secara umum (Coady, 1995). Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama (Sukarna, 1981). Liberalisme sekarang ini telah banyak dianut oleh setiap bangsa sebagai cita-cita tertinggi.

Sebenarnya liberalisme sendiri lahir dari nilai-nilai demokrasi Barat yang menghendaki kebebasan. Dalam salah satu pilar demokrasi, kebebasan berperilaku menjadi standar gaya hidup bagi penganut demokrasi, disadari atau tidak. Kebebasan inilah yang menjadi paradigma berpikir kebanyakan manusia yang tidak lagi menggenggam prinsip agama dalam kehidupannya. Indonesia, sebagai salah satu Negara dengan tingkat heterogenitas suku bangsa yang tinggi, pun menganut nilai kebebasan ini. Jadi, wajar jika banyak dari masyarakatnya memiliki kepribadian dan kelakuan yang bebas sesuai dengan prinsip liberalisme ala Barat.

Begitu pula dengan paradigma naluri seksualnya. Dalam konsep Barat, naluri seksual adalah kebutuhan jasmani yang harus segera dipenuhi. Hal ini tercermin dari hasil seni dan budaya yang mereka hasilkan. Lihat saja, hasil-hasil seni yang lebih banyak merangsang hawa nafsu seperti dengan menunjukkan keindahan tubuh, cerita-cerita dan lagu-lagu yang berbau romantisme, dan juga film-film yang mengundang hasrat seksual, yang dengan itu bisa mencapai kepuasan naluri seksual mereka. Dengan berbagai macam cara, mereka berusaha untuk memenuhi hasrat seksual mereka bahkan dengan melakukan penyimpangan seksual sekalipun, seperti homoseksual, incest, pedofilia, nekrofilia, zoofilia, atau semacamnya yang semakin menjauhkannya dari fitrah sebagai seorang manusia normal. Namun tidak pernah ada tindakan tegas dari pemerintah terhadap para pelaku penyimpangan seksual ini.

Budaya dunia yang semakin permisif menjadikan manusia hidup sebebas-bebasnya sesuai apa yang dianutnya. Bahkan sistem kapitalisme menjadi pendukung utama agar Negara menjamin setiap kebebasan individu warga negaranya. Artinya, Negara tidak berhak mengganggu kebebasan tiap-tiap orang. Inilah yang akhirnya menjadikan hukum-hukum itu kebal di hadapan para pelaku kejahatan. Dengan uang, kebebasan dapat diraih. Undang-undang dan hukum pun takluk. Inilah kehidupan dalam sistem kapitalisme, karena kebebasan mendapat jaminan penuh dari si pembuat hukum.

Bagaimana Solusinya?

Harus kita apresiasi tinggi, bahwa Komnas Perlindungan Anak Indonesia cukup cepat tanggap untuk bisa menyelesaikan kasus kejahatan seksual terhadap anak yang terus meningkat. Namun tak cukup dengan itu, karena seharusnya Negara itulah yang memiliki wewenang tertinggi untuk bisa mengatasi setiap permasalahan yang terjadi pada masyarakatnya. Jika kita lihat, Indonesia sebenarnya memiliki undang-undang yang mengatur tentang kejahatan seksual atau pun tentang anak-anak. Akan tetapi, tampaknya undang-undang ini tidak memiliki ketegasan yang nyata.

Justru kasus yang sama berulang kembali seperti tak ada jejak hukuman bagi para pelaku. UU dan sanksi yang berlaku sama sekali tak memberikan efek jera.  Apa yang salah? Undang-undang memang ada, tapi lihatlah kapitalisme menjamin setiap kebebasan individu. Kontradiktif bukan? Artinya sekeras apapun undang-undang yang mengatur, ia akan takluk di bawah sistem yang menaunginya.

Islam Punya Solusi

Islam adalah sebuah aturan kehidupan yang komprehensif dan menyeluruh. Islam memiliki solusi atas setiap permasalahan yang terjadi di dunia ini, termasuk pun atas masalah kejahatan seksual terhadap anak. Dalam Islam, naluri adalah salah satu potensi yang diberikan Allah swt. kepada setiap manusia, salah satunya adalah naluri seksual atau naluri melestarikan jenis. Artinya, ia menjadi fitrah bagi manusia. Namun, sebagai makhluk Allah, manusia wajib tunduk terhadap aturan yang telah diturunkan-Nya. Manusia tidak boleh menuruti nalurinya sesuai kehendaknya sendiri. Naluri seksual hanya boleh muncul dalam kehidupan suami-istri dan terlarang dilakukan bagi selain pasangan yang telah halal baginya. Sebab, Islam menetapkan bahwa hakikat pemenuhan naluri ini adalah untuk melestarikan keturunan umat manusia, bukan kepuasan semata. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap Muslim. Oleh karena itu, untuk menjaga naluri ini Islam sangat mengaturnya. Islam mengaturnya secara khusus dalam sistem pergaulan, bagaimana interaksi antar perempuan dan laki-laki, hubungan dalam keluarga, etika interaksi dalam masyarakat, batasan-batasan aurat, dan lainnya.

Oleh karena itu, penyelesaian kasus ini tidak bisa dilakukan secara parsial, karena memang membutuhkan solusi sistemik. Negara dengan aparatur dan UU yang abai, sampai kapan pun kasus yang sama akan terus berulang. Akan tetapi, ketika aparatur dan sistemnya diubah, otomatis penyelesaian masalah pun akan ditindak secara berbeda. Secara mendasar, syariah Islam mengharuskan negara untuk senantiasa menanamkan akidah Islam dan membangun ketakwaan pada diri rakyat.  Negara pun juga berkewajiban menanamkan dan memahamkan nilai-nilai norma, moral, budaya, pemikiran dan sistem Islam kepada rakyat.  Hal itu ditempuh melalui semua sistem, terutama sistem pendidikan baik formal maupun non formal dengan beragam institusi, saluran dan sarana.  Dengan begitu, maka rakyat akan memiliki kendali internal yang menghalanginya dari tindakan kriminal termasuk kekerasan seksual dan pedofilia.  Dengan itu pula, rakyat bisa menyaring informasi, pemikiran dan budaya yang merusak.  Penanaman keimanan dan ketakwaan juga membuat masyarakat tidak didominasi oleh sikap hedonis, mengutamakan kepuasan materi dan jasmani.  Begitupun dengan semua itu rakyat banyak juga bisa terhindar dari pola hidup yang mengejar-ngejar dunia dan materi yang seringkali membuat orang lupa daratan, stres dan depresi yang membuatnya bersikap kalap. Selain itu, Negara tidak akan membiarkan pornografi dan pornoaksi tersebar di tengah-tengah masyarakat. Begitu pula dengan sanksi yang akan di dapat oleh pelaku kejahatan ini akan memberikan efek yang jera. Bagi para pelaku penyimpangan seksual seperti homoseksual, dalam sistem sanksi Islam, hukuman bagi para pelakunya adalah hukuman mati. Begitu pula dengan para pelaku pedofilia dalam bentuk sodomi akan dijatuhi hukuman mati. Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi).” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi)

Ijmak sahabat juga menyatakan bahwa hukuman bagi pelaku homoseksual adalah hukuman mati, meski diantara para sahabat berbeda pendapat tentang cara hukuman mati itu. Hal itu tanpa dibedakan apakah pelaku sudah menikah (muhshan) atau belum pernah menikah (ghayr muhshan). Jika kekerasan seksual itu bukan dalam bentuk sodomi (homoseksual) tetapi dalam bentuk perkosaan, maka pelakunya jika jika muhshan akan dirajam hingga mati, sedangkan jika ghayr muhshan akan dijilid seratus kali.  Jika pelecehan seksual tidak sampai tingkat itu, maka pelakunya akan dijatuhi sanksi ta’zir.  Bentuk dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad khalifah dan qadhi.

Begitulah Islam akan menjadi pencegah serta penyelesaian setiap masalah. Namun, itu semua tidak akan dapat terealisasikan ketika Islam belum diterapkan dalam sebuah institusi Khilafah Islamiyah. Karena sejatinya, dengan Khilafah saja syariat Islam akan tegak dan semua permasalahan akan dapat diatasi. Islam datang dari Allah swt. Tuhan yang menciptakan manusia dan alam semesta. Allah swt. pula yang telah menurunkan Al-Quran, dan menjadikan Muhammad saw. sebagai Rasul-Nya dan juga suri tauladan untuk diikuti oleh umatnya. Sudah saatnya bagi kita untuk mencampakkan sistem kapitalisme buatan manusia yang bobrok ini. Sebaliknya, justru ini adalah saatnya untuk menerapkan syariat Islam secara total dan menyeluruh dalam Daulah Khilafah Islamiyah.

Wallahu’alam bisshawab

dimuat di situs http://www.suara-islam.com/read/index/10789/Watch-Out--Darurat-Kejahatan-Seksual-terhadap-Anak-

Tidak ada komentar: