Rabu, April 02, 2014

Demokrasi Hanya Lahirkan Kerusakan

                Sebentar lagi, hanya menghitung hari, masyarakat Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi yaitu pemilu raya untuk memilih anggota legislatif serta pemimpin bangsa ini. Berbagai poster, baligho, pamflet, bendera-bendera partai dan asesoris partai lainnya menghiasi setiap penjuru daerah. Program-program partai untuk membela rakyat dikoar-koarkan melalui media-media. Pemilu dijadikan sebagai ajang eksistensi bagi mereka yang mencalonkan dirinya sebagai calon legislatif atau para calon wakil rakyat yang katanya akan menyalurkan aspirasi rakyat. Namun pertanyaannya sekarang adalah akankah para pemimpin rakyat ini merealisasikan janji-janji yang mereka ucapkan sewaktu kampanye? Karena faktanya pada saat ini kita menemukan bahwa janji-janji itu seperti bisikan-bisikan mimpi yang penuh dengan kepalsuan tanpa pernah terwujud.  Rakyat sudah menyadari bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Kerusakan terjadi dalam semua ranah kehidupan. Masyarakat harus menyadari bahwa kerusakan yang melanda negeri ini dan sebagian besar negara lain di dunia adalah karena penerapan sistem demokrasi buatan manusia.

Kelahiran Demokrasi Kuno
                Sejarah membuktikan, demokrasi lahir di negara Yunani pada abad V SM silam. Istilah demokrasi mengandung dua kata yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan, sehingga demokrasi dapat diartikan sebagai kekuasaan atau pemerintahan rakyat.  Dalam perjalanannya sendiri di negeri kelahirannya, demokrasi tak dapat bertahan lama.  Meskipun Yunani kuno menggunakan sistem demokrasi dalam pemerintahannya, tetapi dalam praktiknya sistem ini memberikan kekuasaan pada pria elit saja untuk mengatur kekuasaan yang disebut dengan Majelis. Selain itu seperti yang dikatakan oleh Robert Dahl, seorang ahli tata negara, menyatakan bahwa demokrasi kuno yang dulu dipakai berbeda sekali dengan konsep demokrasi yang kita pahami saat ini. Dalam konteks Yunani kuno saat itu, kata ‘rakyat’ merujuk kepada sekumpulan orang yang tinggal dalam sebuah kota kecil. Sehingga pada saat ini, kita menemukan pengertian yang berbeda dengan konteks ‘rakyat’ itu sendiri dalam dunia kontemporer. Selain itu, dalam pandangan Yunani kuno, demokrasi harus memenuhi enam syarat, yaitu: 1) Warga negara harus cukup serasi dengan kepentingan mereka (para elit kekuasaan); 2) Mereka harus padu dan homogen; 3) Jumlah warga negara harus kecil (bahkan kurang dari 40.000); 4) Warga negara harus dapat berkumpul dan secara langsung memutuskan legislasi; 5) Warga negara harus berpartisipasi aktif dalam pemerintah; 6) Negara kota harus sepenuhnya otonom. Jelas syarat itu semua tak dapat dipenuhi oleh demokrasi modern saat ini.

Reinkarnasi Demokrasi
                Sistem demokrasi Yunani kuno pada akhirnya tak dapat bertahan lama, hal ini karena memang sistem itu sudah cacat sejak lahir. Sistem ini juga dikalahkan oleh pemerintahan Kekaisaran Romawi yang menguasai hampir seluruh daratan Eropa. Kekaisaran Romawi sendiri menganut pemerintahan monarki absolut dengan sistem teokrasi. Di dalamnya, raja berkolaborasi dengan gerejawan untuk memimpin negara. Raja dianggap sebagai wakil tuhan untuk mengatur kehidupan dunia, ia bekerja sama dengan gerejawan untuk mengendalikan rakyat dengan doktrin-doktrin yang bersifat otoriter seolah-olah dinisbatkan kepada tuhan. Kolaborasi raja dan gerejawan ini melahirkan penindasan berkepanjangan kepada rakyat Eropa, sehingga kita mengenal zaman ini sebagai ‘The Dark Ages’ atau Masa Kegelapan Eropa. Kemiskinan melanda rakyat Eropa karena pajak yang sangat tinggi, banyak ilmuwan dihukum mati karena dianggap bertentangan dengan doktrin agama, masyarakat diselimuti oleh kebodohan karena hanya orang-orang gereja saja yang dapat mengakses ilmu pengetahuan, berbagai macam penyakit menjangkiti masyarakat, dsb. Kemudian, terjadilah pemberontakan yang dipimpin oleh para filsuf dan ilmuwan, dimana mereka menuntut untuk memisahkan agama dari kekuasaan. Gereja tidak diperbolehkan untuk mencampuri urusan perpolitikan negara.  Dari sinilah lahir paham sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan seluruhnya. Agama dianggap sesuatu yang suci sehingga tidak boleh dicampurkan dengan aspek kehidupan lainnya. Istilah demokrasi kembali dipakai di Eropa setelah berabad-abad dicampakkan. Majelis rakyat kembali dipilih oleh rakyat untuk membuat hukum perundang-undangan dan pengaturan atas nama rakyat. Demokrasi pada akhirnya menjadi alternatif solusi yang dipakai hingga saat ini untuk menjadi sistem pemerintahan yang dipakai hampir sebagian besar oleh negara-negara di dunia.

Kritik terhadap Demokrasi
            Sebenarnya, demokrasi sudah mendapatkan kritik keras dari Aristoteles dengan menyebut sistem itu sebagai mobocracy atau the rule of mob, artinya adalah kekuasaan yang mengepung. Demokrasi digambarkan sebagai sistem yang bobrok, yang dikuasai oleh massa. Oleh karena itu, demokrasi rentan akan tindakan anarkis. Menurut Aristoteles, bila negara dipegang oleh banyak orang (melalui perwakilan legislatif) akan berbuah petaka. Dalam bukunya ‘Politics’, Aristoteles menyebut Demokrasi sebagai bentuk negara yang buruk (bad state). Menurutnya juga, negara Demokrasi memiliki sistem pemerintahan oleh orang banyak, dimana satu sama lain memiliki perbedaan (atau pertentangan) kepentingan, perbedaan latar belakang sosial ekonomi, dan perbedaan tingkat pendidikan. Pemerintahan yang dilakukan oleh sekelompok minoritas di dewan perwakilan yang mewakili kelompok mayoritas penduduk itu akan mudah berubah menjadi pemerintahan anarkis, menjadi ajang pertempuran konflik kepentingan berbagai kelompok sosial dan pertarungan elit kekuasaan. Apa yang dilontarkan oleh Aristoteles ini persis seperti yang sering kita saksikan di berita-berita, partai-partai politik saling beradu untuk mendapatkan kekuasaan tinggi demi mewujudkan kepentingannya di atas rakyat.

Demokrasi Hanya Lahirkan Kerusakan
          Kritikan Aristoteles sebenarnya harus menjadi tamparan keras bagi para politisi negeri ini. Demokrasi telah cacat sejak lahir dan tak pantas untuk diambil. Selain itu, reinkarnasi demokrasi yang terjadi di Eropa dahulu sebenarnya tak cocok untuk dipraktikkan. Indonesia dengan penduduknya yang mayoritas beragama Islam tidak pernah mengalami penindasan atas nama agama seperti yang terjadi pada masyarakat Eropa di abad pertengahan itu. Demokrasi bukanlah solusi tepat untuk mengatasi permasalahan yang terjadi saat ini. Justru demokrasi ialah akar dari permasalahan ini semua. Demokrasi gagal mempraktikkan doktrin mendasarnya yaitu kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat. Buktinya, orang-orang legislatif yang dianggap mewakili rakyat ini tidak pernah melahirkan kebijakan pro-rakyat. Rakyat memang memilih secara langsung para wakilnya, tetapi para wakil ini disediakan oleh parpol yang sarat dengan kepentingan, sehingga hak untuk bebas memilih sebenarnya hanya tipuan saja. Rakyat terbatas memilih para wakil rakyat yang sudah disediakan oleh parpol. Selain itu, dalam praktik demokrasi dimana pun, kekuasaan tetap saja berada di tangan elit politik maupun pemilik modal. Demokrasi gagal menjalankan doktrinnya sendiri.
              Selain itu, demokrasi juga berdiri di atas empat pilarnya, yaitu kebebasan beragama, berpendapat, berperilaku, dan berkepemilikan. Sesungguhnya, empat pilar ini juga merubuhkan institusi pemuja demokrasi. Lihatlah akibat pilar kebebasan beragama, aliran Ahmadiyah muncul dan tetap eksis, begitu pula dengan aliran-aliran dan akidah yang menyimpang lainnya tetap dibiarkan bahkan dipelihara oleh pemerintah. Kebebasan berpendapat membuat orang-orang yang anti-Islam menciptakan film penghinaan terhadap Rasulullah 'Innocence of Muslim' dan karikatur-karikatur untuk menjelek-jelekkan Rasul dan umatnya. Namun, kemarahan umat atas kejadian ini sama sekali tidak digubris oleh pemerintah kita yang juga notabene adalah Muslim. Remaja dan pemuda, yang menjadi tonggak peradaban suatu bangsa telah rusak dan hancur akibat menjadi pemuja kebebasan berperilaku. Hidup hura-hura disertai pergaulan bebas telah menjadikan mereka jauh dari identitas pemuda yang sebenarnya. Jika pemuda bangsa hancur, maka hancur pula bangsanya. Terakhir, adanya asas kebebasan berkepemilikan membuat bangsa ini terjajah. Sumber daya alam yang kaya dan melimpah ruah terus dikeruk oleh perusahaan-perusahaan asing, dan pemerintah tetap bungkam dalam kepura-puraannya. Sedangkan masyarakat dibiarkannya terjajah secara materi dan mental, kehidupannya tak lagi berharga ketika demokrasi merampas hak hidupnya. Agama telah dijauhkan di sisi terkucil dalam jiwa manusia, membuat mereka lupa seolah-olah mereka tak diawasi setiap gerak-geriknya oleh Yang Mahamelihat. Kemaksiatan terus terjadi dan tersebar dimana-mana. Itulah demokrasi sang pembuat kerusakan.

Masihkah Berharap pada Demokrasi?
                Masyarakat seharusnya menyadari, meskipun kepemimpinan di negeri ini sebentar lagi akan berganti, akan tetapi perubahan sejati tidak akan pernah terwujud selama masih diterapkannya sistem demokrasi. Mengapa? Karena rule of the system tidak berganti, orang-orang yang akan mengisi tampuk kepemimpinan pun pada akhirnya akan tetap menjalankan aturan yang ada, meskipun mereka mengaku memiliki program-program untuk melakukan perubahan. Faktanya, keadaan yang sama tidak akan pernah berubah. Rakyat tetap miskin, melarat, dan sengsara. Sedangkan elit politik serta para pemilik modal semakin adem ayem, karena undang-undang yang lahir menguntungkan mereka. Itulah sistem demokrasi buatan manusia. Ketika manusia memiliki wewenang untuk membuat hukum, maka aturan yang lahir disesuaikan dengan kepentingan dan hawa nafsunya saja. Aturan itu pun tidak memiliki acuan yang baku. Meskipun aturan di negara ini memiliki acuan baku yaitu berupa konstitusi UUD 1945, tetapi pada faktanya masih terdapat amandemen yang semakin liberal. Hal ini menunjukkan bahwa aturan itu tidak baku dan bersifat longgar. Itulah aturan buatan manusia. Jadi masihkah berharap pada demokrasi?

Islam Satu-satunya Jalan Perubahan  

"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin? 
(Q.S Al-Maaidah : 50)

                Hukum siapakah yang lebih baik untuk diterapkan di bumi ini? Apakah hukum buatan manusia (hukum jahiliyah) ataukah hukum Allah? Siapakah yang lebih mengetahui perkara akan makhluk-Nya, apakah manusia (yang diciptakan) atau Allah, Sang Pencipta alam semesta beserta isinya? Jelas jawabannya adalah hukum Allah swt. bagi orang-orang yang cerdas dan beriman. Jadi mengapa harus menerapkan Islam? Karena Islam datang dari Sang Pencipta, yaitu Allah swt. sebagai rahmatan lil ‘alamin.
              Banyak sekali ayat-ayat dalam Al-Quran, begitu pula dalam As-Sunah Rasulullah saw. untuk menggunakan Islam sebagai aturan kehidupan manusia di dunia.

"Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". Berkatalah ia:"Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat" Allah berfirman:"Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu(pula) pada hari inipun kamu dilupakan".
(Q.S Ath-Thaaha : 124-126)

                Hari ini kita mengalami kehidupan yang sempit itu berupa susahnya mengais rezeki, harga-harga kebutuhan yang semakin hari semakin naik, sulitnya beribadah, kejahatan tersebar dimana-mana, serta saudara Muslim kita di luar sana yang meregang nyawa tiap waktunya. Tidakkah kita merasa hidup kita itu sempit? Dari ayat tersebut mengindikasikan bahwa kita saat ini sedang berpaling dari peringatan Allah. Padahal ayat-ayat Quran tiap hari kita membacanya, tapi mengapa isinya tidak kita jalankan dalam kehidupan ini? Ini merupakan peringatan bagi kita bahwa sudah saatnya kita kembali pada hukum-hukum Allah, karena hukum Allah adalah hukum yang terbaik bagi manusia, dan karena Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, yaitu rahmat untuk alam semesta ini. Jadi, mengapa kita harus bersusah payah hidup dalam aturan manusia ketika Allah, Pencipta kita sendiri, sudah menyediakan aturan yang terbaik? Marilah kita bersama-sama memperjuangkan tegaknya kembali syariat Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah, sebuah institusi negara yang telah Rasulullah contohkan dan kemudian dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin dan khalifah-khalifah setelahnya. Jadi, tinggalkan demokrasi! Tegakkan Syariat dan Khilafah Islamiyah! Allahu Akbar!

Wallahu ‘alam bisshawab

*dari berbagai sumber

Tidak ada komentar: