Pelajaran dari kajian hari ini adalah tentang sifat baik dan
buruk, serta terpuji dan tercela. Keempat istilah tersebut memang sangat sering
kita jumpai dalam kehidupan ini, tentu saja, kadang-kadang kita secara sadar
maupun tidak, sering melakukan perbuatan dengan predikat tersebut. Dua pasang
istilah tersebut memang berlawanan secara maknanya. Maka otomatis, perbuatan
yang melekat dengan predikat istilah itu pun akan jauh berbeda, tergantung
siapa yang memandang.
Sebuah
predikat layak disandingkan pada suatu perbuatan tertentu dalam kehidupan kita,
entah itu baik atau buruk, dan terpuji atau tercela. Orang masa kini
berpandangan, predikat yang melekat pada suatu perbuatan tertentu menjadi relatif
di mata orang. Bahkan pujian seseorang untuk menilai suatu perbuatan atau pun
barang menjadi sangat penting di hampir kebanyakan orang pada saat ini. Inilah
sebuah tipu daya yang kadang menjebak manusia kepada kehidupan yang jauh dari
realita. Realita yang saya maksudkan di sini adalah kita sebagai seorang Muslim
kadang terjebak dengan predikat baik, buruk, terpuji, atau tercela, ketika kita
sebagai manusia yang lemah memberikan predikat tersebut secara ‘polos’ karena naluriahnya
manusia yang penuh dengan hawa nafsu, lemah dan juga terbatas.
Manusia
kadang memandang segala sesuatu yang dicintainya berarti itu adalah baik
untuknya, sedangkan sesuatu yang tidak disukainya berarti buruk baginya. Tapi
apakah demikian? Sebuah perbuatan sejatinya tidak memiliki muatan positif atau pun
negatif (kok kaya magnet ya?), semua perbuatan yang dilakukan oleh manusia di
bumi ini sejatinya adalah netral, ia tidak bernilai baik atau buruk. Hanya saja
ada unsur-unsur luar yang mempengaruhinya sehingga keberadaannya menjadi baik
atau buruk di mata manusia. Seperti
misalnya, A sangat hobi berenang karena ia tahu renang dapat membuat tubuhnya
menjadi sehat dan segar. Maka renang pun mendapat predikat baik dari si A, yang
sangat menyukai kegiatan tersebut. Akan tetapi berbeda misalnya dengan si B, ia
pernah melakukan kegiatan renang, tetapi suatu saat ia tenggelam, dan dari
sanalah ia trauma untuk berenang kembali. Oleh karena itu, si B menjadikan
renang itu adalah kegiatan yang buruk bagi dirinya. Begitulah suatu perbuatan
dapat bergeser nilainya sesuai dengan unsur-unsur yang mempengaruhinya dan juga
tujuan apa yang hendak ia capai dari perbuatan tersebut.
Sering
kali juga, manusia terjebak pada pujian dari sesama manusia lainnya. Ambil saja
sebuah contoh, berpakaian, misalnya seorang wanita berpakaian menarik (sebuah
predikat). Ia mengenakan gaun berwarna
merah muda dengan panjang selutut dan tidak tanggung-tanggung memperlihatkan
kemulusan kulitnya. Wajahnya pun dihiasi dengan riasan cantik. Sangat
mempesona, bukan?! Sehingga predikat cantik dan menarik dari orang yang melihatnya layak disematkan
kepada wanita tersebut. Lalu bagaimana Allah memandang wanita tersebut? Apakah
dia memang cantik di hadapan Allah? Atau justru Allah sangat membencinya? Padahal
jelas, dalam Islam, Allah melarang wanita untuk tidak memperlihatkan auratnya
kepada orang yang bukan muhrimnya. Pendapat siapakah yang lebih layak untuk
kita ambil? So, think it by yourself! ;)
Dalam
Islam, seharusnya Muslim tidak berpandangan seperti yang demikian, karena telah
ada ketetapan dari Allah swt. tentang setiap perbuatan. Hukum syara-lah yang
pada akhirnya menjadi standar dalam melaksanakan suatu perbuatan. Seorang
Muslim tidak boleh melandaskan akal dan logikanya, apalagi hawa nafsunya, untuk
menilai suatu perbuatan, akan tetapi semuanya Allah sajalah yang menentukan. Banyak
perbuatan yang mungkin kita tidak sukai, tetapi baik di mata Allah. Begitu pula
sebaliknya, banyak perbuatan yang kita senangi dan kita cintai, tetapi ternyata
Allah melaknatnya. Jadi pertanyaannya adalah siapakah yang lebih mengetahui
urusan kita? Siapakah yang lebih baik memandang kita, apakah manusia ataukah
Allah, Tuhan kita?! Absolutely, you know
the answer, right?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar