Tragedi
berdarah terjadi di stadion Gelora Bung Karno minggu yang lalu. Tiga orang
tewas dikeroyok ketika pertandingan Persija vs Persib berlangsung. Pengeroyokan
karena adanya fanatisme supporter diduga menjadi penyebabnya.
Salah satu
dari korban tewas tersebut adalah teman saya, Rangga Cipta Nugraha. Ia adalah
teman SMA saya. Saya masih ingat ketika masih sekelas dengannya. Dia memang
penggemar sejati Persib. Berbeda dengan saya yang sangat menyukai Arsenal pada saat itu. Dan saya tidak terlalu menyukai liga Indonesia. Ya, kami memang sama-sama menyukai sepak bola. Tanpa pernah saya duga,
dia pergi meninggalkan dunia ini dengan kematian yang tragis. Semoga Allah
menempatkanmu di tempat yang terbaik, kawan!
Atas kejadian
itu, akhirnya saya memutuskan untuk sekedar share di blog saya ini mengenai
masyarakat Indonesia yang dibutakan oleh fanatisme dunia sesaat. Tanpa
memandang apapun, tanpa memihak siapapun, kebanyakan dari mereka dibutakan oleh
fanatisme. Bagaimana Islam memandang ikatan yang tidak shahih itu?
|
kerusuhan menjadi ciri khas suporter fanatik |
Biasanya rasa
fanatik muncul ketika dikumpulkan bersama orang-orang yang memang memiliki
sesuatu yang sama, contohnya seorang supporter sebuah tim sepak bola akan
terbangun jiwa fanatiknya ketika ia dikumpulkan bersama orang yang memang
bersama-sama mendukung tim yang sama. Tetapi memang tidak selalu fanatic. Rasa fanatic
muncul ketika rasa cinta terhadap sesuatu itu berlebihan, sehingga ia bisa
melakukan apa saja demi yang dicintainya itu. Ketika orang-orang yang fanatic ini
dikumpulkan karena kecintaan mereka yang sama, maka hal itu akan menciptakan
sebuah ikatan antar mereka.
Ada satu
ikatan yang memenuhi kriteria diatas (yang terjadi diantara para supporter sepak
bola). Ikatan itu dinamakan ikatan kebangsaan. Ikatan ini terjadi ketika
manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tidak beranjak
dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong
mereka untuk mempertahankan negerinya, tempat dimana ia hidup dan
menggantungkan diri. Ikatan inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya ikatan
Nasionalisme, yang merupakan ikatan yang paling lemah dan rendah nilainya.
Ikatan ini dipenuhi dengan sifat yang emosional dan akan muncul ketika serangan
atau ancaman terhadap negeri-negeri mereka berdatangan. Maka ikatan ini
bernilai rendah sekali. (An-Nabhani, 1953: 39)
Ikatan
assabiyah (nasionalisme, termasuk didalamnya ikatan yang ada dalam diri
supporter fanatik) terjadi ketika taraf berfikir manusia itu lemah dan rendah.
Ikatan ini bersifat emosional yang selalu didasarkan pada perasaan yang muncul
secara spontan dari naluri mempertahankan diri, yaitu untuk membela diri.
Ikatan ini juga sifatnya sementara (temporal) yaitu muncul saat membela diri
ketika datangnya ancaman tadi. Sedangkan jika dalam keadaan normal, ikatan ini
tidak akan muncul. Oleh karena itu, ikatan ini tidak bisa dijadikan pengikat
antar sesama manusia. (An-Nabhani, 1953:41)
Dari paparan
Ustadz Taqiyyudin An-Nabhani tersebut bisa disimpulkan, bahwa ikatan yang
terdapat dalam diri supporter fanatic termasuk ke dalam ikatan assabiyah. Hal
ini dikarenakan terdapat ciri-ciri yang telah disebutkan diatas. Ikatan yang
terdapat di dalam diri supporter fanatic untuk membela tim yang sama ini
bersifat emosional, karena perasaannya muncul ketika ancaman itu datang.
Misalnya, ketika Persib bertemu dengan lawan yang menjadi musuh bebuyutannya
(mis. Persija), para supporter selalu terlibat dengan aksi kekerasan, yang tidak
jarang, menyebabkan supporternya meregang nyawa. Karena mereka berpikir bahwa
supporter lawan sama dengan musuh, musuh berarti harus dilawan. Hal ini
menandakan tingkat berfikir mereka yang sudah lemah dan merosot. Berbeda halnya
ketika Persib bertanding melawan klub lainnya yang tidak dicap sebagai musuh
bebuyutan. Para supporter bersikap biasa saja. Hal ini menunjukkan ikatan ini
bersifat temporal atau sesaat.
Selain itu,
dengan adanya tragedy ini dan tragedy-tragedi kekerasan lainnya, menandakan
bahwa mereka mengalami krisis identitas. Masyrakat Indonesia yang mayoritasnya
Muslim, sudah sepatutnya memoles diri mereka dengan keimanan dan ketakwaan
kepada Sang Pencipta, Allah swt. Ketika diri seorang Muslim berhias diri dengan
bekal keimanan yang kokoh, sudah pasti tragedy tersebut tidak akan terjadi,
karena seorang Muslim yang taat pada Tuhannya, sudah pasti akan takut ketika ia
melakukan kemasiyatan. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat Muslim
Indonesia sekarang lepas dari identitas mereka sebagai seorang Muslim. Bukankah
ummat Muslim itu ibarat satu tubuh? Ketika ada bagian tubuh yang terluka, maka
anggota tubuh lainnya pun ikut merasakan sakitnya? Bahkan, nyawa seorang Muslim
itu lebih berharga daripada runtuhnya Ka’bah! Ketika mereka memahami hal itu,
sudah pasti hal tersebut tidak akan pernah terjadi, karena sesama muslim adalah
saudara.
Sungguh
ironis! Kecintaan manusia diberikan kepada bukan yang selayaknya. Cinta mereka
menjadi buta dan silau oleh dunia yang sesaat ini. Cinta mereka dibesar-besarkan
tapi tidak ditempatkan pada tempat yang layak. Sudah sewajibnyalah untuk
seorang Muslim, cinta itu diberikan kepada yang menciptakan rasa itu, Allah
swt. Tidaklah rugi memberikan cinta kita sepenuhnya untuk Allah semata, justru
cinta itu bersambut dengan kebaikan yang akan diberikan oleh sang Pemilik
Cinta. Sudah seharusnya, cinta kita itu kita buktikan dengan menjalankan segala
yang diperintahkan-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, menerapkan aturan-aturan
yang dibuat-Nya. Hingga cinta itu akan berbalas kebaikan baik di dunia, maupun
di akhirat nanti.
Wallahualambisshawab
Referensi:
An-Nabhani, Taqiyyudin. 2010. Peraturan Hidup dalam Islam (Penerjemah,
Abu Amin, dkk). Jakarta: HTI Press.